Selasa, 29 Juli 2014

Upacara Pawiwahan

Upacara pawiwahan atau upacara pernikahan adalah peristiwa menyatunya dua insan manusia, upacara pawiwahan adalah serentetan upacara manusa yadnya yang bertujuan untuk menyatukan dua individu guna menciptakan rumah tangga berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran agama Hindu, fase-fase kehidupan yang dijalani oleh umat Hindu dibagi menjadi empat dan sering disebut dengan Catur Asrama. Pawiwahan termasuk ke dalam bagian dari Catur Asrama yaitu termasuk dalam tahap dua dalam Catur Asrama yaitu Grehasta Asrama.Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumah tangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
Tata cara pernikahan di Bali di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1.UPACARA NGEKEB :
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
2.MUNGKAH LAWANG (Buka pintu) :
Seorang utusan mungkah lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak 3 kali sambil diiringi oleh seorang malat yang menyanyikan tembang bali.
3.UPACARA MESEGEH AGUNG :
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria. keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang bali dan biasanya berjumlah 200 kepeng.
4.MADENGEN-DENGEN :
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. upacara ini dipimpin oleh seorang pemangku adat atau balian.
5.MEWIDHI WIDANA :
Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tampat pemujaan untuk berdoa memohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan.
6.MEJAUMAN NGABE TIPAT BANTAL :
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang kerumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara menerima tamu. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur. bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, teh, sirih pinang, bermacam buah-buahan serta lauk pauk khas bali.

Selasa, 15 Juli 2014

Tuntunan Berjapa

Japa merupakan pengulangan mantra atau naama apapun dengan bhava atau perasaan. Japa melenyapkan ketidak sucianpikiran, memusnahkan dosa-dosa dan membawa para bhakta berhadapan dengan Tuhan. Setiap naama berisi kekuatan yang tak terbatas. Sebagaimana api yang mempunyai kekuatan membakar, demikian juga naama Tuhan mempunyai kekuatan membakar dosa-dosa dan keinginan. Lebih manis dari segala yang manis, lebih berguna dari segala benda yang berguna, lebih murni dari segala benda yang murni adalan naama Tuhan.

Untuk memulai latihan berjapa, hendaknya terlebih dahulu mempersiapkan tempat yang bersih dan sunyi serta jauh dari jngkauan anak-anak dan binatang agar tidak terganggu dalam melakukan latihan dan lebih mudah untuk berkonsentrasi. Untuk japa mala bisa digunakan mala yang terbuat dari bahan biji rudraksa, cendana, atau kayu tulasi yang berjumlah 108 biji.

Duduklah dengan sikap siddhasana. Tempatkan kedua tangan didepan dada dengan sikap tangan anjali, kemudian ucapkan pranawa “OM (AUM)” sebanyak tujuh kali ditujukan kepada tujuh cakra yang terdapat dalam tubuh kemudian dilanjutkan dengan pengucapan Gayatri Mantram satu kali.
Ambilah japa dengan tangan kanan, posisi japa dipegang dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah. Jari telunjuk digunakan untuk menggerakan satu persatu biji mala menuju ibu jari. Posisi tangan saat memegang japa mala diletakan diatas lutut kaki kanan, sedangkan tangan kiri diletakan diatas pangkuan. Ini menunjukan sikap seorang siddha.

Putarlah biji mala sambil mengucapkan japa mantra yang dipilih atau sesuai dengan sampradaya atau garis perguruan. Mula-mula ucapkan dengan keras hingga lembut, hingga mantra itu menyatu dengan batin (diucapkan dalam hati saja). Putarlah japa satu laksa, jika sudah pada biji terakhir, janganlah melewati meru pada japa, melainkan lakukan putaran dengan membalik posisi mala.

Untuk mengakhiri latihan berjapa, hendaknya selalu ditutup dengan pengucapan mantra Guru Puja yang dilanjutkan dengan santhi mantra.

PENGENALAN JAPA DAN MANTRANYA

JAPA = mengulang-ulang kata suci atau bertuah atau mantra. Mengulang tersebut dilakukan hanya dalam ingatan (mental) yang disebut manasika japa, dengan berbisik disebut upamsu japa, dengan bersuara yang terdengar maupun keras disebut wacika japa, dan ada juga dilakukan dengan gerakan atau tulisan/gambar.

MALA = rangkaian biji-bijian, batu, permata, mutiara, mute, merjan, spatika, atau butiran yang terbuat dari keramik, gelas, akar lalang, kayu, seperti kayu tulasi tulsi) dan cendana. Kata mala juga padanan kata tasbih dan rosary. Tasbih yang utama adalah tasbih yang terbuat dari rangkaian biji buah rudraksa.

RUDRAKSA= rudra berarti Siwa dan aksa berarti mata, sehingga arti keseluruhannya berarti mata Siwa, yang sejalan dengan mitologinya bahwa di suatu saat air mata Siwa menitik, kemudian tumbuh menjadi pohon rudraksa menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, Malaysia bahkan sampai ke Bumi Nusantara, yang popular dengan nama GANITRI atau GENITRI. Dalam bahasa latinnya disebut ELAEOCARPUS GANITRUS. Ada tiga macam jenis ganitri dan 4 jenis agak berlainan yang dinamai KATULAMPA.

RUDRAKSA = adalah buah kesayangan Siwa dan dianggap tinggi kesuciannya. Oleh karena itu rudraksa dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya,
bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa (Siva Purana). Sebagai sarana japa atau dapat dipakai oleh seluruh lapisan umat atau oleh ke-empat warna umat, maupun oleh pria atau wanita tua ataupun muda.

Selain pengaruh spiritual/religius tersebut, kepada pemakai rudraksa juga dapat memberikan efek biomedis dan bio-elektomagnetis (energi), secara umum dapat
dikatakan dapat memberi efek kesehatan, kesegaran maupun kebugaran. Hal ini terungkap dari buku tentang penyhelidikan secara mendalam terhadap keistimewaan rudraksa tersebut di India.

Untuk mendapat daya-guna sampai maksimal, tentu harus memenuhi etika dan syarat, apalagi untuk memperoleh manfaat-manfaat khusus, berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki rudraksa sesuai dengan bentuk, rupa serta jumlah mukhi (juringan)-nya. Secara umum dapat disebutkan bahwa rudraksa harus tidak
dipakai/dibawa ke WC, melayat, turut kepemakaman/crematorium, dan tidak dalam keadaan cuntaka (sebel), maupun sebel pada diri wanita. Sebelum dimanfaatkan sebaiknya tasbih genitri itu dipersembahkan di pura, kemudian dimohonkan keampuhannya denagan diperciki tirtha, yang berarti pemakaiannya melalui prosedur ritual. Hal itu ditempuh karena ber-japa dengan tasbih genitri bukan sekedar untuk menghitung-hitung, memakai rangkaian japa-mala rudraksa juga bukan sekedar asesori atau sebagai atribut status quo. Dengan ritual itu ingin dicapai kemantapan bathin yang berdimensi magis, dan memperlakukan japa-mala-rudraksa itu sebagai sarana sakral, di samping untuk kesehatan.

Yang dimaksud dengan etika berjapa, adalah termasuk hal-hal yang akan disebutkan berikut ini. Selama berjapa jagalah jangan sampai bagian bawah tangkainya terkulai begitu saja, apalagi sampai menyentuh tanah. Untuk itu perlu tangan kanan yang meniti butir genitri terangkat setinggi ulu hati dan bagian yang terjuntai ditadah dengan telapak tangan kiri. Ada juga dianjurkan, agar selama berjapa rangkaian rudraksa itu diperlakukan tertutup, bahkan diperlakukan dalam
kantung khusus.

Melakukan japa dengan tasbih genitri sebaiknya dengan sikap bathin yang tenang, serta terpusatkan pada tujuan mantra, selagi ibu jari tangan kanan menggerakkan mala dibantu jari tengah dan satu persatu biji rudraksa itu akan melangkahi bagian ujung jari manis.

Jari telunjung maupun jari kelingking tidak diberikan tugas dan tidak menyentuh biji rudraksa.

Mala yang terdiri dari 108 biji rudraksa diuntai dengan benang katun/kapas, memiliki puncak yang diberi nama MERU . Rangkaian Japamala rudraksa ada juga
diuntai dengan kawat, bahkan deberi berbagai variasi seperti emas, perak, tembaga, manik-manik yang berwarna-warni sesuai dengan ìwarnaî pemakainya.

Melakukan japa mulai dari mala pertama di bawah Meru............. dan terus berakhir pada mala yang ke 108(terakhir). Kalau hendak melanjutkan lagi, maka
mala yang terakhir tadi dianggap yang pertama digerakkan kembali (balik) arah, pantang melewati/menyebrangi Meru. Demikianlah berulang-ulang bolak-balik sampai mencapai jumlah yang dikehendaki.

MANTRA UNTUK BERJAPA

Kebiasaan berjapa dengan mala atau tasbih bagi umat Hindu di Indonesia nyaris tak dikenal, kecuali dikenal hanya dikalangan sulinggih yang memakainya sebagai
pelengkap atribut dalam berpuja. Bahkan dikalangan beberapa generasi Hindu. Jika melihat umat agama lain sedang berjapa dengan mala/tasbih, tidak merasakan bahwa berjapa itu merupakan tradisi miliknya juga. Barulah pada penghujung abad XX ini, umat Hindu Indonesia melebarkan cakrawalanya terutama ke pusat kelahiran agama Hindu, dapat memungut kembali butir-butir Japa-mala yang sudah lama tercecer untuk dimanfaatkan kembali. Tidaklah berlebihan disebutkan di sini, bahwa kini sudah saatnya umat Hindu mengambil
manfaat ber-japa dengan mala terutama yang terbuat dari rudraksa atau genitri.

MANTRA adalah kata suci atau bertuah yang dapat memberi pengaruh atau getaran yang bersifat magis, apabila disebutkan maupun dijapakan, baik secara
ingatan (mansika), berbisik (upamsu), maupun dengan ucapan (wacika). Kata ataupun kata-kata bertuah itu antara lain:

BIJA AKSARA = Yang disebut juga BIJA MANTRA, adalah huruf,atau suku kata, ataupun unsur suku kata itu sendiri yang tak terpisahkan dari tuahnya yang
bergetar abadi

NAMA-NAMA TUHAN= Bukan Tuhannya yang banyak. Tuhan hanya satu, tiada duan-Nya, Melainkan Brahman para cendekia yang bijaksana menyebut dengan berbagai nama.

PUJA TAWA = yang juga memiliki ìnilaiî mantra.

MANTRA-MANTRA:
Dengan memperbandingkan Bija aksara yang kita sudah dikenal dari dulu di Indoenesia dengan Bija mantra yang tersebut dalam buku-buku terbitan India boleh jadi Bija aksara itu juga bisa dipakai untuk mantra-mantra dalam ber-japa- mala.Yang jelas adalah Pranawa OM, Ongkara itu sendiri sebagai Udgita, disamping yang lain-lain seperti: dwi aksara/rwa bhineda, tri aksara, panca aksara, dasa aksara, dasa aksara-bayu dan bija aksara lain yang menjadi pegangan para Husadawan. Ketidak tegasan ini tentu akibat dari pada ìtidakî atau ìbelumî terbiasanya umat Hindu di Indonesia ber-japa-mala.

Tanpa bermaksud meremehkan diri, baiklah kita kutipkan beberapa mantra dari buku-buku terbitan India.

1. OM : Tuhan itu sendiri, merupakan sumber serta asal muasal yang ada, sehingga wajib kita mendekatkan diri kepadaNya, sembah sujud kepadaNYa dengan berserah diri sepenuhnya ....... dstnya.
2. KSHRAUM : bija mantra Narasimha (Narasinga) untuk mengusir, rasa takut dan cemas.
3. AIM (ENG) : bija mantra Saraswati, sebagai perkenan/restu bagi remaja putra-putri agar pandai dalam berbagai cabang pelajaran.
4. SHRI(SRI):bija mantra Dewi Laksmi (Laksmi), yang di Indonesia dikenal dengan nama Dewi Sri Mantra ini di-japa-kan seseorang untuk menuju kemakmuran dan kesenangan.
5. HRIM : bija mantra Bhuwana-ishwari, atau disebut juga mantra Maya.Kegunaannya diterangkan dalam Dewi Bhagwatma, bahwasanya seseorang bisa menjadi pemimpin dan mendapatkan seluruh yang diinginkan.
6. KLIM : bija mantra Raja Kama atau Dewa Kama untuk pemenuhan kemauan seseorang.
7. KRIM :Bija mantra Dewi Kali atau Durga untuk menghancurkan musuh dan memberikan kebahagiaan.
8. DUM : Bija mantra Durga, marupakan ibunya cosmos untuk mendapatkan perlindungan dari padaNya, serta memberikan apa saja yang diinginkan manusia.
9. GAM, GLAUM/GAM GLAUM : Bija mantra Ganesha untuk menyingkirkan rintangan serta mengembangkan sukses. Ga berarti Ganesha, La berarti sesuatu yang dapat meresap dan Au berarti cerdas atau daya pikir yang cemerlang.
10.LAM : Bija mantra Pertiwi (Pritvi), sebagai pertolongan yang menjamin hasil panen baik.
11.YAM : Bija mantra Bayu (Vayu), untuk mejamin hujan.

Masih banyak lagi bija mantra yang lain, terutama yang bersifat khusus, namun yang disajikan di atas sudah memadai, apalagi ditambah nama-nama Tuhan beserta ista dewata, awatara, maupun puja stawa, antara lain:

OM SRI MAHA GANAPATAYE NAMAH; OM NAMAH SIWAYA; OM NAMO NARAYANAYA; HARI OM; HARI OM TAT SAT; OM SRI HANUMAN NAMAH; OM SRI SARASWATYE NAMAH (OM SRI SARASWATYAI NAMAH) ; OM SRI DURGAYAI NAMAH; OM SRI LAKSHMYAI NAMAH; OM SO HAM; OM AHAM BRAHMANASMI; OM TAT TWAM ASI; OM HARE RAMA HARE RAMA RAMA RAMA HARE HARE; HARE KRISHNA HARE KRISHNA KRISHNA KRISHNA HARE HARE; OM SRI RAMA; JAYA RAMA; JAYA JAYA RAMA.

Puja Gayatri atau Sawitri juga dapat di-japa-kan dengan sangat populer dan mahautama. Demikian juga Mahamertyunjaya.

MANTRA MAHA-MRITYUNJAYA
OM TRYAMBAKAM YAJAMAHE SUGANDHIM PUSHTIVARDHANAM;
URVAARUKAMIVA BANDHANAAN MRITYORMUKSHEEYA MAAMRITAAT.

Penjelasan:
Mantra Maha-Mertyunjaya (Mrityunjaya) adalah mantra untuk pang-hurip-an (anuggrah jiwa-kehidupan). Pada saat-saat kehidupan sangat komplek dewasa ini,
kecelakaan karena gigitan ular, sambar petir, kecelakaan kendaraan ber-motor/sepeda, kebakaran, kecelakaan di air dan udara dan lain-lainnya.

Disamping itu, mantra tersebut mempunyai daya perlindungan yang besar, penyakit-penyakit yang dinyatakan tak tertangani secara medis (dokter), dapat
diobati dengan mantra ini, apabila mantra di-uncar-kan (disebutkan secara manasika, upamsu maupun vacika) dengan sungguh-sungguh, jujur dan taat. Mantra tersebut merupakan senjata melawan penyakit-penyakit serta menaklukan kematian.

Mantra Mrityunjaya adalah juga mantra- moksha, mantra-Nya Siwa. Selain memberi berkah mohksha, mantra itu juga memberi berkah kesehatan (Arogya), panjang umur (Dirgha Yusa), kedamaian (shanty), kekayaan (Aiswarya), kemakmuran (Pushti), dan memuaskan (Tushti)

Pada saat ulang tahun mantra ini di-japa-kan sebanyak 100 ribu kali atau paling tidak 50.000 kali, haturkan makanan kepada orang-orang miskin dan orang sakit,
akan mendapat berkah seperti tersebut di atas.

Minggu, 06 Juli 2014

Pahala terhadap sepuluh jenis kebaikan

Semua perbuatan akan mengarah pada Punia (pahala) dan Papa (dosa) dan adalah sesuatu hal yang mutlak bagi manusia untuk menuai apa yang ia tanam. Bagi mereka yang ingin jauh dari Neraka (tempat penderitaan bagi mereka yang berdosa) harus melakukan perbuatan yang baik dan menjauh dari semua jenis kejahatan. Punia yang dihasilkan dari pujan (pemujaan), vrata (segala jenis puasa), japa (mengulangi nama tuhan), tapa (melakukan perenungan), Homa (upacara api) dan dana (menyumbang). Yang tertinggi adalah memberikan sumbangan. Bagi mereka yang berdosa sekalipun, kedermawanan akan menghasilkan punya. Bagi mereka yang sudah menghuni neraka sekalipun, punia masih bisa membantu.
            Bagi mereka yang ingin mendapatkan punia harus melakukan perbuatan yang menghasilkan pahala. Seseorang itu harus memberikan sumbangan dan juga melakukan perbuatan baik. Adalah dosa bagi mereka yang tidak memberikan sumbangan. Sepuluh kedermawanan yang baik adalah – memberikan emas, biji wijen, gajah, perawan, pembantu, kuda, kereta, permata (batu berharga), sapi hitam dan tanah. Segala sesuatu yang disayangi oleh seseorang jika diberikan pada orang lain adalah sumbangan, yang akan menghasilkan pahala. Tetapi sumbangan harus diberikan pada mereka yang membutuhkan, orang yang pantas mendapatkannya. Ini bisa dilakukan kapanpun juga.
            Bagi mereka yang memberikan emas akan menghancurkan dosa dimasa lalu dan masa sekarang. Bagi mereka yang memberikan sapi maka keinginan mereka akan terkabul. Bagi mereka yang memberikan tanah akan terlahir kembali sebagai manusia. Menghiasi seekor sapi dengan biji wijen dan seekor ternak dengan emas dan memberikan binatang itu untuk disumbangkan akan menjadikan seseorang itu penghuni swarga hingga kepemimpinan Dewa Indra yang keempat belas kali. Bagi mereka yang memberikan til (biji wijen) sebagai sumbangan akan membuat dosa mereka sirna. Ini akan menghapus dosa yang disengaja maupun yang tidak disengaja baik dimasa anak-anak maupun masa remaja. Dalam hal ini, sumbangan yang diberikan pada saat tertentu akan lebih memberikan hasil.
            Ketika musim panas tiba, alas kaki harus diberikan pada orang yang lebih memerlukan daripada pemberi. Bagi mereka yang memberikan payung akan mendapatkan akan mendapatkan jalan hidup yang lebih teduh. Semua punia yang diberikan dengan tulus akan menghasilkan pahala. Bagi mereka yang terlahir sebagai manusia dan di bumi – mereka yang lahir sebagai mereka yang mengetahui hal ini harus memeberikan sumbangan jika mereka menginginkan kenyamanan pada kehidupan mereka berikutnya.

Dosa dan tingkatan Dosa

Seseorang yang menginginkan suami orang, harta benda orang lain, uang orang lain dan mereka yang ingin mencelakai orang—adalah pendosa psikologi atau mental. Membicarakan orang lain dan menggosip adalah dosa karena lidah. Memakan makanan yang tidak baik (tidak suci, hal yang terlarang), yang membuat orang lain sakit, melakukan perbuatan tidak baik, mencuri adalah dosa tubuh. Ini adalah dosa yang tertinggu (maha papa). Benci kepada Tuhan adalah dosa yang terdalam. Memberikan sedekah pada mereka yang tidak berhak mendapatkannya, yang tidak baik, membaca buku yang dilarang—tinggal dirumah yang tidak disucikan oleh ‘vaastu’ (cara membangun yang benar) dan pemujaan yang tepat – tidak pernah berderma adalah dosa. Membunuh Brahmana, meminum minuman keras, mencuri emas, menggoda istri guru- berteman dengan orang jahat, membuat orang menjadi pendosa besar (maha papi). Menghina orang yang baik, mencuri uang para dewa (patung di kuil), menghasilkan uang dengan cara yang tidak benar, tidak melakukan upacara, membunuh orang yang tidak berbahaya, binatang yang tidak buas, juga adalah dosa. Demikian juga melukai atau menganiaya Brahmana, memenuhi keinginan  indra, perzinahan, pelecehan seksual pada wanita adalah dosa yang lainnya.
            Seorang kakak yang membiarkan adiknya menikah terlebih dahulu akan disebut sebagai parivitti. Sebuah yajna dengan adanya kakak yang seperti itu adalah dosa. Menikahkan perawan pada orang yang seperti itu adalah dosa. Meninggalkan dharma, kewajiban, mengikuti dharma orang lain, mencoba untuk belajar obat-obatan tanpa pengetahuan yang cukup, melakukan ilmu hitam, menghancurkan sebuah taman, menghina tamu, kikir, menganiaya orang yang lebih lemah semuanya adalah dosa. Membantu, menolong dan melakukan kebaikan adalah punia atau pahala. Diantara dosa itu, yang paling berat adalah dosa perzinahan (perselingkuhan). Bagi mereka yang diketahui melakukannya akan dihukum oleh raja, tetapi bagi mereka yang tidak ketahuan maka akan dihukum oleh Dewa Yama sendiri.

Munculnya Ganapati

Suatu hari saat Dewi Parwati sedang mandi, Dewa Siwa tiba-tiba masuk. Dewi Parwati merasa malu, ia berhenti mandi dan segera menuju ke peraduannya. Pengawal pribadinya Jaya dan Wijaya mengatakan bahwa mereka tidak bisa menghentikan Dewa Siwa karena mereka hanyalah pelayan. Akan lebih baik menurut mereka jika Dewi Parwati memiliki penjaga sendiri layaknya Siwagana. Jika ia memiliki pengawal pribadi, ia bisa menghentikan Dewa Siwa. Jika Dewa Siwa adalah raja, maka Dewi Parwati adalah ratu. Mendengar hal ini, Dewi Parwati menggosok kotoran dari tubuhnya dan dalam sekejap ia membuat figur maskulin dan menghidupkannya. Saat itu juga seorang anak laki-laki yang gemuk dan lucu muncul. Ia memberkatinya dan menyuruhnya menjaga pintu. Anak itu menjaga pintu.
            Ketika Dewa Siwa datang dan hampir akan masuk, anak ini menghentikannya dan mengatakan bahwa tanpa ijin Dewi Parwati tidak ada yang boleh masuk. Pertarungan terjadi. Pengikut Dewa Siwa tidak bisa mengalahkan anak ini. Tiga kali mereka berusaha masuk tetapi tiga kali pula mereka gagal.
            Dewi Parwati mengetahui hal ini, merasa senang. Iapun memberitahu anak ini untuk tetap melakukan tugasnya.
            Dewa Siwa tidak ingin berkompromi. Brahma datang dan meminta anak ini jangan sampai terpengaruh. Mungkin anak ini berpikir bahwa ia juga adalah bagian dari para gana dan iapun menarik kumis dan jenggot Brahma. Dewa Brahma, mengatakan bahwa ia adalah seorang brahmana dan tidak akan melawannnya, iapun kembali kekediamannya.
            Tidak ada yang bisa mengalahkannya kecuali Kartikeya. Dewa Wisnu merasa bahwa tulangnya telah patah karena pukulan Ganapati. Doa pada dewa Siwapun diucapkan. Dewa mengangkat trisulanya dan mengarahkannya pada leher anak itu. Kepala anak itu terpenggal dan dibawa kehadapan Dewa Siwa.
            Dewi Parwati sangatlah marah. Dari kemarahannya itu muncullah kekuatan yang amat dahsyat. Karati, Kubjuka, Kanza, Lambhashirsha dan yang lainnya. Bahkan Dewa Siwa sendiri sangatlah terkejut. Ia hanya melihat saja tapa melakukan apapun. Para bidadari dan juga para dewa memohon pada Dewi Parwati. Para rsi dan orang suci yang dipimpin oleh Narada menghadapnya. Rajajeshwari tetap bersikeras bahwa putranya harus dihidupkan kembali. Ia mengatakan pada Siwa bahwa ia tidak akan menarik Shakteya gananya.
            Dewa Siwa menyerah. Ia mengirimkan gananya untuk pergi ke utara dan mengambil kepala binatang apapun yang bisa mereka peroleh. Sementara itu tubuh anak tanpa kepala itu telah dimandikan dan dihias dengan perhiasan dan juga diwangikan dengan parfum. Dengan cepat para gana kembali dengan kepala gajah dan mereka memasngkannya pada tubuh anak itu. Para bidadari dan para dewa berdoa agar sinar dewa menyatukan kepala gajah dan tubuh anak itu. Dewa Siwa menjawab doa itu. Ganapati hidup dengan kepala gajah. Anak ini bercahaya kemerahan. Ibu Mulia sangat bahagia. Ia bahagia karena putranya telah hidup kembali walaupun hanya dengan kepala seekor gajah. Ia telah puas dan dunia kembali aman.

CHENCULA MENYELAMATKAN SUAMINYA

Suatu hari Chencula memohon dan bertanya pada Ibu Tertinggi dimanakan suaminya Binduga. Iapun  mendapatkan jawaban. Ia berada di Neraka mendapatkan buah atas perbuatannya. Ibu Tertinggi memberitahunya bahwa ia telah menjadi arwah yang jahat dan mengganggu (Pishacha) berkelana di gunung Vindhya. Chencula berdoa untuk pengampunannya. Ibu Mulia yang amat pengasih tersenyum dan mengirim Tumbura, seorang Gandharwa (makhluk surgawi) bersama dengan Chencula ke Gunung Vindhya. Ia memberitahu Tumbura untuk menceritakan Siwa Purana pada pendosa Binduga, yang akan menghancurkan dosanya. Tumbura kemudian diberikan dua pelayan Siwa sebagai pendampingnya.
            Di gunung itu, Tumbura menemukan dimana arwah jahat itu berada. Tetapi arwah itu tidak mau mendengarkan Siwa Purana. Oleh karena itu pelayan Siwa mengikatnya. Tumbura memainkan alat musik dan menyanyikan keagungan Maha Siwa. Gunung ini dipenuhi dengan melodi yang sangat indah. Para bidadari turun dari surga untuk mendengarkan melodi tentang keagungan Siwa dan perbuatannya.
            Sedangkan Binduga telah lepas dari kejahatannya dan ia telah pulih. Kejahatannya sirna. Ia telah berubah menjadi makhluk yang bersinar. Chencula bersama dengan suaminya mencapai Kailasha dan mereka hidup bahagia selamanya.
            Begitulah kekuatan berkah Siwa.

CERITA CHENCULA

Di sebuah tempat yang bernama Baskhala hiduplah seorang Brahmana yang bernama Binduga dengan istrinya Chencula. Binduga terperangkap oleh seorang wanita yang buruk tabiatnya. Ia tidak pernah pulang atau menemui istrinya. Itulah yang membuat Chencula sakit hati dan menderita, Chencula kemudian juga ikut mencari teman laki-laki yang juga bertabiat buruk untuk membalas perbuatan suaminya.
            Mengetahui hal ini, Binduga pulang suatu hari dan memukulinya. Chencula menuduh suaminya tidak setia dan menyalahkan suaminya atas semua yang terjadi.
            Setelah bertengkar cukup lama, keduanya sepakat. Chencula yang akan bekerja dan kemudian memberikan uangnya pada suaminya. Tidak ada yang akan ada pria yang mau membayarnya. Mereka setuju untuk berpura-pura selayaknya suami dan istri yang sebenarnya.
            Seiring waktu yang telah berjalan, Chencula kemudian menjadi janda. Ia berkelana tanpa tujuan. Ia kemudian tiba di Gokarna Kshetra (kshetra adalah tempat perziarahan). Di kuil Mahabeleshwar ia mendengarkan wacana tentang Siwa Purana. Ia kemudian paham, bahwa pendosa akan pergi ke neraka, tempat dimana Yama Dharmaraja akan memberikan hukuman pada pendosa. Iapun pergi. Sehari setelah wacana itu, ia pergi ke Pauranik (pencerita purana) dan mengakui dosanya. Pauranik itupun menyarankan agar ia tetap mendengarkan wacana itu dan mengingat Tuhan selalu. Ia melakukannya.
            Sebagai hasilnya, setelah ia meninggal ia dibawa ke Kailasa, dimana ia menjadi sahabat Ibu Tertinggi, Gauri.

KISAH DEWARAJA

Pada jaman dahulu kala, di Kirata Nagara hiduplah seorang brahmana yang bernama Dewaraja. Ia menjalani kehidupan yang tidak teratur dan hidup yang amat buruk. Ia tidak pernah mandi dan berdoa. Satu-satunya tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk menghasilkan banyak uang dan kemudian menghamburkannya sesuka hatinya. Ia menipu orang lain dan juga bertikai dengan teman atau sanak-saudaranya. Suatu hari ia pergi ke sebuah kolam pemandian yang amat segar dan disana ia bertemu dengan seorang wanita jahat yang bernama Shobawati. Ia terperangkap oleh kejahatan wanita itu. Ia menghaburkan uangnya untuk wanita itu. Orang-tuanya dan istrinya berusaha untuk memberinya nasehat namun ia tidak perduli. Setelah semua uangnya habis, wanita itupun mencampakkannya.

Brahmana itu tiba disebuah tempat yang bernama Pratishthana Pura. Disana ia jatuh sakit. Ia merasa bahwa ajalnya akan tiba. Ia berlindung di sebuah kuil Dewa Siwa. Ia berbaring dan tak mampu bergerak. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mendengarkan Purana dan juga wacana keagamaan di tempat itu. Wacana dan pravachana ini berakhir pada saat nafas terakhirnya terhembus.

Utusan Dewa Kematian (Yama) datang menjemput arwah (prana) brahmana itu menuju ke tempat mereka. Namun dihalangi oleh utusan Siwa, Siwaduta. Utusan Yama membebaskan brahmana yang berdosa, Dewaraja. Tetapi kemudian utusan Dewa Siwa mengatakan apapun yang ia lakukan dalam hidup dan bagaimana caranya ia hidup terdahulu, pada hari –hari terakhirnya hidup ia telah mendengarkan Siwa Purana yang menghapus semua dosanya hingga bersih. Setelah berkata seperti itu, mereka membawa arwah brahmana itu ke Kailasa, kediaman Dewa Siwa.

Dharma (nama lain Yama) ketika ditanyai oleh pelayannya mengenai kejadian itu menjelaskan, begitulah keagungan Dewa Siwa dan berkah seperti itulah yang diberikan pada orang yang telah mendengarkan Siwa Purana.

Kamis, 03 Juli 2014

Upacara Mebayuh Oton

Menurut buku wariga agung, Mebayuh bisa diketegorikan dalam dua klasifikasi ;

1  Mebayuh yang bersifat reguler atau berkelanjutan yang dilaksanakan setiap perubahan status, misalnya dari staus anak - anak menjadi remaja, dari status remaja menjadi dewasa (menikah), dari status dewasa menjadi orang tua, dan dari status menjadi orang tua menjadi kakek atau nenek. 

2.      Mebayuh yang dilaksanakan karena kondisi tertentu, misalnya kelainan jiwa, terkena kesakitan, sering menemui ala atau kecelakanaan dan hala - hal yang bersifat marabahaya lainnya. 

Menurut sastra: Lontar Jyotisha mebayuh atau metubah atau mebebangan untuk “mengurangi keburukan dan menambah kebaikan” maka upacara itu dilakukan pada saat otonan ybs menurut perhitungan: wuku, sapta wara, dan panca wara.

Otonan berasal dari kata pawetuan dan lebih mendasar lagi berasal dari kata wetu, yang artinya keluar atau lebih tepatnya dalam kaitan ini : lahir. Jadi otonan adalah upacara memperingati hari kelahiran kita (manusia). Mengapa otonan perlu diperingati melalui pelaksanaan upacara. Ada beberapa hal yang penting dikemukakan :

1.    Menyatakan terima kasih kepada Sanghyang Widhi karena roh diperkenankan lahir kembali (re-inkarnasi) menjadi manusia. Kitab suci Sarasamuscaya VI.4 menyatakan : “Apan iking dadi wang, utama juga ya, nimitaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wang ika”. Terjemahannya : Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebab demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

2.     Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa manusia mempunyai tiga “badan” : stula sarira, suksma sarira, dan duta karana sarira. Setiap manusia wajib memelihara ketiga badan ini dengan baik agar dapat mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah. Stula sarira dipelihara dengan menjaga kesehatan dan vitalitas. Suksma sarira dipelihara dengan melaksanakan upacara-upacara manusa-yadnya. Dan bila stula sarira dan suksma sarira dalam kondisi “sehat” maka dengan sendirinya duta karana sarira akan sehat pula. Salah satu upacara manusa-yadnya adalah otonan.

Upacara Megedong Gedongan

Upacara Megedong Gedongan adalah upacara yang dilakukan untuk penyucian bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya. Upacara ini merupakan tradisi adat istiadat yang terus dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu di Bali.

Megedong Gedonganini dilakukan pada saat bayi dalam kandungan berumur 6 bulan (210 hari), karena wujud bayi sudah dianggap sempurna/lengkap pada usia itu. Disisi lain untuk memperkuat posisi bayi di dalam kandungan agar tidak terjadi abortus/keguguran, lalu secara jasmani upacara Megedong Gedongan ini dilakukan, agar sang bayi menjadi kuat pada saat dilahirkan dan kelak menjadi orang yang berbudi luhur, berbakti pada orang tua, berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa, sedangkan untuk ibunya sendiri sebagai doa permohonan keselamatan kepada Hyang Whidi ( Yuhan Yang Maha Esa) agar si ibu sehat, selamat pada saat waktu melakukan persalinan/melahirkan.

Kata Megedong Gedongan berasal dari kata gendongan yang bermakna kandungan. Dalam melaksanakan upacara Megedong Gedongan ini menggunakan filsafat agama Hindu dengan cara perhitungan angka samkhya yaitu dari angka 210 menjadi hitungan 2+1=3 yang artinya Tri Angga yaitu Suksma Sasira, Antakarana, Stula Sasira dihari itu ke tiga unsur telah menyatu menjadi bayi dan saatnya untuk penyucian dan berharap roh yang akan berenkarnasi betul betul roh yang suci.

Sementara untuk ibunya sendiri dengan diadakannya Upacara Megedong Gedongan ini, bertujuan mendapatkan dukungan kejiwaan seperti merasa aman, ketenangan juga merasa mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari pihak keluarga, karena ibu yang hamil belum mempunyai pengalaman dalam hal melahirkan. Oleh sebab itu sehari sebelum Megedong Gedongan ini dilaksanakan dharma tula yaitu pemberian nasehat bahwa melahirkan itu adalah kobrat sebagai seorang ibu, juga disarankan untuk menbaca buku ilmu pengetahuan, buku ilmu agama dan mendekatkan diri dengan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), menghindari diri dari penglihatan dan pendengaran yang bersifat negatif/buruk, karena itu semua dapat mempengaruhi kehidupan bayi dikemudian hari.
Simbol dan keperluan yang disediakan saat upacara:
  1. Dibuat bentuk bangunan yang terbuat dari daun kelapa muda/janur yang berbentuk segi empat bujur sangkar dengan ukuran 30 cm memiliki pintu, dan diisi seperangkat alat sesajen, bermakna gedung diumpamakan sebagai kandungan ibu tepat bayi sebelum lahir.
  2. Nasi menyerupai bayi dibungkus dengan daun sente berisi bawang, jahe, garam dan lampu, simbol seorang bayi yang sedang terbungkus plasenta(ari-ari), memiliki kekuatan asuri sanpad (Sang Bhita Anggara) yang sedang menguasai kandungan, bawang, jahe, garam dan lidi sebagai simbol Tri Guna bermakna sebagai kekuatan rajas, tamas dan kekuatan satwam (Dharma), lampu symbol Sang Hyang Atma sebagai kekuatan surya candra/widia yang memberikan kekuatan kepada ibu dan bayinya  sehingga bisa menetralisir kekuatan Bhuta Anggara dan saat melahirkan bisa selamat, lidi symbol permohonan kepada agar diberikan keselamatan.
  3. Sebuah Sabit symbol Ardha Candra (bulan sabit) memiliki makna memohon penyucian mendapatkan kekuatan Hyang Siwa, yang memberikan kekuatan kepada air di sungai dengan sebutan Sang Hyang Catur Gangga.
Ada tingkatan dalam upacara Magedong Gedongan yaitu : nista, madia dan utama, semua ini tergantung dari kemampuan ekomoni yang melaksanakannya.
Tata cara upacara Megedong Gedongan diawali dengan upacara melukat di “kelebutan”  di tepi sungai tempat dimana sumber air alami yang dianggap suci. Setelah itu dilanjutkan dengan melukat di gria yang pimpin oleh Sulinggih (Ida Pendanda/orang yang dihormati mengerti agama). Pada sore harinya upacara Megedong Gedongan dilaksanakan di rumah dan dipimpin oleh seorang Pemangku.
Pada upacara terakhir pasangan suami istri akan duduk berdampingan untuk mendengarkan (kidung suci), petuah dan nasehat yang berisi tentang larangan dan juga saran untuk pasangan suami istri.
Upacara Megedong Gedongan termasuk dalam Manusa Yadnya. Agama Hindu di Bali tak bisa lepas dari upacara atau disebutYadnya. Yadnya terdiri dari 5 macam yang biasa dikenal Panca Yadnya yaitu :
  • Manusa Yadnya: Upacara suci yang dilakukan pada manusia.
  • Pitra Yadnya: Upacara suci yang dipersembahkan kepada roh leluhur.
  • Rsi Yadnya: Upacara suci yang dilakukan untuk para orang suci umat Hindu.
  • Bhuta Yadnya: Upacara suci yang dilakukan untuk menyucikan alam beserta isinya.
  • Dewa Yadnya: Upacara suci yang dipersembahkan untuk para dewa atau Sang Hyang Widhi.
Selain upacara Megedong Gedongan upacara yang termasuk Manusa Yadnya : Otonan, Tiga Bulanan, Metatah (potong gigi) dan Pawiwahan (pernikahan).

Upacara Potong Gigi

Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah atau Mesanggih, dimana 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan, upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.

Upacara ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.
Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus dibersihkan tersebut adalah:
  1. Hawa nafsu
  2. Rakus/Tamak/keserakahan
  3. Angkara murka/kemarahan
  4. Mabuk membutakan pikiran
  5. Perasaan bingung
  6. Iri hati/ dengki
Dari semua sifat yang ada ini, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan  hal hal  yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia.  
Kegiatan saat upacara
  1. Pendeta atau orang yang terhormat dalam upacara ini minta restu di tempat suci, lalu anak anak atau remaja yang akan melaksanakan potong gigi dipercikan air suci/tirta, setelah itu mereka memohon keselamatan untuk melaksanakan upacara.
  2. Pendeta melakukan potong rambut dan menuliskan lambang lambang suci  dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia, untuk meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja.
  3. Anak anak yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes dengan terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai symbol mohon kekuatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
  4. Setelah pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur kumur  dibuang di dalam buah kelapa gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai kebersihan dan kesakralan dalam menjalankan upacara ini.
  5. Lalu dilanjutkan dengan  melakukan penyucian diri oleh pendeta agar dapat menghilangkan bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
  6. Melaksanakan Mapedamel yang bertujuan sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih agar dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, dalam mengarungii kehidupan di masa datang. Di saat melakukan upacara ini anak anak mengenakan kain putih dan kuning, memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih dan hitam) sebagai simbol pengikat diri terhadap norma norma agama, kemudian anak anak yang dipotong giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam, pedas, sepat, asin dan manis) yang mempunyai arti dan makna makna tertentu.
  7. Setelah proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan upacara Natab Banten, yang bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
  8. Setelah proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak, tujuan adalah memberitahukan kepada anak nya bahwa kewajiban sebagai orang tua dari melahirkan, mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan  sang anak kelak setelah upacara ini menjadi orang yang berguna, sebaliknya si anak  kepada orang tua nya menghaturkan sembah sujud ungkapan terima kasih  sudah dengan susah payah berkorban jiwa dan raga untuk melahirkan mereka, mengasuh, membesarkan,  mendidik dan membimbing mereka menuju jalan yang baik dan benar sampai dewasa. (Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi)
Dari serangkaian upacara diatas dapat kita pahami bahwa dalam diri setiap manusia sejak mereka dilahirkan sudah terdapat sifat yang tidak baik, dengan melakukan upacara Mepandes ini anak yang sudah dewasa diingatkan dan diajarkan untuk tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama dan bisa menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Sumber : http://www.wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-potong-gigi