Senin, 08 Desember 2014

Makna Sebenarnya dari Sugihan Jawa dan Sugihan Bali

Bagi masyarakat Bali, terutama yang beragama Hindu pasti sering mendengar istilah sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Dan sepertinya masih ada beberapa yang belum paham akan makna sebenarnya dari kedua istilah tersebut.Menjelang hari raya Galungan, umat Hindu Bali melakukan upacara Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Apa maknanya ?

Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba adalah sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrokosmos) atau alam semesta. Sugihan Jawa ini jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang.
Kata Sugihan Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jaba artinya luar. Jadi hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari Jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung atau alam semesta, baik sekala maupun niskala.

Dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Sugihan Jawa merupakan “Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh” (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan fisik dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

Sementara Sugihan Bali jatuh pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang (sehari setelah Sugihan Jawa). Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri, sesuai dengan lontar Sundarigama: “Kalinggania amrestista raga tawulan” (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos), yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan.

Manusia tidak saja terdiri dari badan fisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan fisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat, sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita menjelang hari raya.

(litbang bbcom/berbagai sumber)

Selasa, 19 Agustus 2014

Siwa Yang Agung

Dewa  Siwa adalah Dewa dengan rahmat dan kasih sayang. Ia melindungi bhakta dari kekuatan jahat seperti nafsu, keserakahan, dan kemarahan. Ia memberikan anugerah, rahmat dan membangkitkan menganugerahkan kebijaksanaan dalam umat-Nya. Simbolisme dibahas di bawah ini mencakup simbol-simbol utama yang umum untuk semua gambar dan foto Siwa dimuliakan oleh orang Hindu. Karena tugas dari Tuhan Siwa sangat banyak, Dia tidak dapat dilambangkan dalam satu bentuk. Untuk alasan ini gambar Siwa bervariasi secara signifikan dalam simbolisme mereka.
  • Tubuh ditutupi dengan berpakaian abu: melambangkan tubuh berpakaian aspek transendental Tuhan. Karena hal yang paling mengurangi menjadi abu bila dibakar, abu melambangkan alam semesta fisik. Abu pada tubuh berpakaian Tuhan Siwa menandakan bahwa adalah sumber dari seluruh alam semesta yang berasal dari-Nya, tetapi Dia melampaui fenomena fisik dan tidak terpengaruh oleh itu.
  • Kunci kusut: Tuhan Siwa adalah Master yoga. Tiga kunci kusut di kepala Tuhan menyampaikan gagasan bahwa integrasi energi fisik, mental dan spiritual adalah yang ideal yoga.
  • Ganga: Gangga (sungai Gangga) dikaitkan dengan mitologi Hindu dan merupakan sungai paling suci Hindu. Menurut tradisi, orang yang mandi di Gangga (dipuja sebagai Ibu Gangga) sesuai dengan upacara tradisional dan upacara pada kesempatan keagamaan dalam kombinasi dengan peristiwa astrologi tertentu, dibebaskan dari dosa dan mencapai pengetahuan, kemurnian dan kedamaian. Gangga, secara simbolis diwakili di atas kepala Tuhan dengan seorang wanita (Ibu Gangga) dengan sebuah jet air yang memancar dari mulutnya dan jatuh di tanah, menandakan bahwa Tuhan menghancurkan dosa, menghilangkan kebodohan, dan melimpahkan pengetahuan, kemurnian dan perdamaian di para bhakta.
  • Bulan sabit: ditampilkan pada sisi kepala Tuhan sebagai hiasan, dan bukan sebagai bagian integral dari wajah-Nya. Waxing dan memudarnya fenomena bulan melambangkan siklus waktu melalui penciptaan yang berkembang dari awal sampai akhir. Karena Tuhan adalah Realitas Abadi, Dia berada di luar waktu. Dengan demikian, bulan sabit hanya salah satu ornamen-Nya, dan bukan merupakan bagian integral dari-Nya.
  • Tiga mata: Tuhan Siwa, juga disebut Tryambaka Deva (harfiah, "bermata tiga Tuhan"), digambarkan sebagai memiliki tiga mata: matahari adalah mata kanan-Nya, bulan mata kiri dan api mata ketiga. Dua mata di kanan dan kiri menunjukkan aktivitas-Nya di dunia fisik. Mata ketiga di tengah dahi melambangkan pengetahuan spiritual dan kekuasaan, dan dengan demikian disebut mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Seperti api, tatapan mata ketiga kuat Siwa annihilates jahat, dan dengan demikian penjahat takut mata ketiga-Nya.
  • Setengah-membuka mata: ketika Tuhan membuka mata-Nya, siklus baru penciptaan muncul dan ketika Ia menutup mereka, alam semesta larut untuk penciptaan siklus berikutnya. Setengah mata terbuka menyampaikan gagasan bahwa penciptaan akan melalui proses siklus, tanpa awal dan akhir. Tuhan Siwa adalah Master Yoga, sebagaimana Dia menggunakan daya yoga Nya untuk proyek alam semesta dari-Nya. Setengah membuka mata juga melambangkan postur yoga-Nya.
  • Kundalas (dua cincin telinga): dua Kundalas, Alakshya (berarti "yang tidak dapat ditunjukkan oleh tanda apapun") dan Niranjan (berarti "yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia") dalam telinga Tuhan menandakan bahwa Dia berada di luar persepsi biasa . Sejak kundala di telinga kiri Tuhan adalah dari tipe yang digunakan oleh perempuan dan satu di telinga kanan-Nya adalah dari tipe yang digunakan oleh laki-laki, ini Kundalas juga melambangkan Siwa dan Shakti (laki-laki dan perempuan) prinsip penciptaan.
  • Ular di leher: orang bijak telah menggunakan ular untuk melambangkan kekuatan yoga Dewa Siwa yang Dia melarutkan dan recreates alam semesta. Seperti seorang yogi, ular menimbun apa-apa, membawa apa-apa, membangun apa-apa, tinggal di udara saja untuk waktu yang lama, dan tinggal di pegunungan dan hutan. Racun dari ular, oleh karena itu, melambangkan kekuatan yoga.
  • Seekor ular (Naga Vasuki): ditampilkan meringkuk tiga kali sekitar leher Tuhan dan melihat ke arah sisi kanan-Nya. Tiga gulungan ular melambangkan masa lalu, sekarang dan masa depan - waktu dalam siklus. Tuhan memakai ular meringkuk seperti hiasan menandakan hasil penciptaan yang dalam siklus dan tergantung waktu, tetapi Tuhan sendiri melampaui waktu. Sisi kanan tubuh melambangkan aktivitas manusia berdasarkan pengetahuan, nalar dan logika. Ular melihat ke arah sisi kanan Tuhan menandakan bahwa hukum-hukum abadi Tuhan nalar dan keadilan mempertahankan ketertiban alam di alam semesta.
  • kalung Rudraksha: Rudra adalah nama lain Siwa. Rudra juga berarti "ketat atau tanpa kompromi" dan aksha berarti "mata." Rudraksha kalung dipakai oleh Tuhan menggambarkan bahwa Dia menggunakan hukum-hukum kosmik Nya tegas - tanpa kompromi - untuk mempertahankan hukum dan ketertiban di alam semesta. Kalung manik-manik ini memiliki 108 yang melambangkan unsur-unsur yang digunakan dalam penciptaan dunia.
  • Varda Mudra: tangan kanan Tuhan ditampilkan dalam melimpahkan anugerah dan berkat-berpose. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, Tuhan Siwa annihilates jahat, anugerah hibah, melimpahkan kasih karunia, menghancurkan kebodohan, dan membangkitkan kebijaksanaan dalam umat-Nya.
  • Trident (Trisula): tiga cabang trisula ditampilkan berdekatan dengan Tuhan melambangkan tiga kekuasaan-Nya mendasar (shakti) dari akan (iccha), tindakan (kriya) dan pengetahuan (jnana). Trisula juga melambangkan kekuatan Tuhan untuk menghancurkan kejahatan dan kebodohan.
  • Damaru (drum): drum kecil dengan dua sisi yang terpisah dari satu sama lain oleh struktur leher seperti tipis melambangkan dua negara benar-benar berbeda dari keberadaan, unmanifest dan memanifestasikan. Ketika damaru digetarkan, menghasilkan suara yang berbeda yang digabungkan bersama oleh resonansi untuk menciptakan satu suara. Suara yang dihasilkan dengan demikian melambangkan Nada, suara kosmik dari AUM, yang dapat didengar selama meditasi yang mendalam. Menurut Hindu, Nada adalah sumber penciptaan.
  • Kamandalu: panci air (Kamandalu) yang terbuat dari labu kering berisi nektar dan ditampilkan di tanah samping Shiva. Proses pembuatan Kamandalu memiliki makna rohani yang mendalam. Sebuah labu matang yang dipetik dari tanaman, buah adalah dihapus dan shell dibersihkan untuk mengandung nektar. Dengan cara yang sama, seseorang harus melepaskan diri dari keterikatan pada dunia fisik dan bersih dalam dirinya keinginan egoistik dalam rangka untuk mengalami kebahagiaan Diri, dilambangkan oleh nektar di Kamandalu.
  • Nandi: banteng berhubungan dengan Siwa dan dikatakan kendaraan-Nya. Banteng melambangkan kedua daya dan kebodohan. Tuhan Siwa menggunakan lembu jantan sebagai kendaraan menyampaikan gagasan bahwa Dia menghilangkan kebodohan dan kekuasaan melimpahkan kebijaksanaan pada umat-Nya. Banteng ini disebut Vrisha dalam bahasa Sansekerta. Vrisha juga berarti dharma (kebenaran). Jadi banteng ditampilkan di samping Shiva juga menunjukkan bahwa Dia adalah pendamping etemal kebenaran.
  • Tiger kulit: kulit harimau melambangkan energi potensial. Tuhan Shiva, duduk di atas atau memakai kulit harimau, menggambarkan gagasan bahwa Dia adalah sumber dari energi kreatif yang masih dalam bentuk potensial selama keadaan peleburan alam semesta. Dengan Kuasa Ilahinya, Tuhan mengaktifkan bentuk potensi energi kreatif untuk proyek alam semesta dalam siklus tak berujung.
  • Tanah Kremasi: Siwa duduk di tanah kremasi menandakan bahwa Dia adalah controller kematian di dunia fisik. Sejak kelahiran dan kematian yang siklik, mengendalikan satu berarti mengendalikan yang lain. Jadi, Tuhan Siwa dipuja sebagai pengendali utama kelahiran dan kematian di dunia fenomenal.
                                                                  

Damaru Shiva

Shiva digambarkan sebagai memegang Damroo - drum kecil berbentuk seperti jam pasir. Shiva memegang damaru populer dalam bentuk Nataraja. Terkadang ia ditampilkan dalam postur menari selain Nataraja dan memegang damaru. Dalam beberapa gambar yang damaru terkait dengan Trisula atau trisula. Suara dari damaru melambangkan suara yang berasal penciptaan dan melanggengkan alam semesta.
Dalam agama Hindu, khususnya oleh umat Siwa, diyakini bahwa pemukulan dari damaru oleh Shiva menghasilkan suara pertama (nada). Suara pertama ini dibuat dalam kekosongan ketiadaan. Shiva mulai tari ciptaan irama damaru. Dari tari, dunia datang menjadi ada.
Ada juga simbolisme mengenai bentuk damaru - bagian atas damaru melambangkan kreativitas laki-laki prokreasi (the lingam), dan representasi ke bawah melambangkan kreativitas perempuan prokreasi (Yoni). Secara simbolis, penciptaan dunia dimulai ketika lingam dan yoni bertemu di titik tengah dari damaru, dan kehancuran terjadi ketika kedua terpisah dari satu sama lain.

Ada juga legenda yang suara Shiva dibuat pada damaru disahkan ke anaknya, Lord Ganesha, yang adalah seorang pemain pakawai terkenal. Dia kemudian menambahkan lebih suara dan menghasilkan musik.
Interpretasi lain dari suara damaru menunjukkan bahwa drum menggambarkan kekuatan irama detak jantung.
Simbolisme lain menunjukkan suara damaru melambangkan kata-kata Weda.
Naga Sadhu dan Suci lainnya menyembah Shiva membawa damaru. Mereka menghasilkan suara selama ibadah dan juga sementara mencari sedekah.

Selasa, 29 Juli 2014

Upacara Pawiwahan

Upacara pawiwahan atau upacara pernikahan adalah peristiwa menyatunya dua insan manusia, upacara pawiwahan adalah serentetan upacara manusa yadnya yang bertujuan untuk menyatukan dua individu guna menciptakan rumah tangga berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran agama Hindu, fase-fase kehidupan yang dijalani oleh umat Hindu dibagi menjadi empat dan sering disebut dengan Catur Asrama. Pawiwahan termasuk ke dalam bagian dari Catur Asrama yaitu termasuk dalam tahap dua dalam Catur Asrama yaitu Grehasta Asrama.Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumah tangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
Tata cara pernikahan di Bali di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1.UPACARA NGEKEB :
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
2.MUNGKAH LAWANG (Buka pintu) :
Seorang utusan mungkah lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak 3 kali sambil diiringi oleh seorang malat yang menyanyikan tembang bali.
3.UPACARA MESEGEH AGUNG :
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria. keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang bali dan biasanya berjumlah 200 kepeng.
4.MADENGEN-DENGEN :
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. upacara ini dipimpin oleh seorang pemangku adat atau balian.
5.MEWIDHI WIDANA :
Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tampat pemujaan untuk berdoa memohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan.
6.MEJAUMAN NGABE TIPAT BANTAL :
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang kerumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara menerima tamu. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur. bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, teh, sirih pinang, bermacam buah-buahan serta lauk pauk khas bali.

Selasa, 15 Juli 2014

Tuntunan Berjapa

Japa merupakan pengulangan mantra atau naama apapun dengan bhava atau perasaan. Japa melenyapkan ketidak sucianpikiran, memusnahkan dosa-dosa dan membawa para bhakta berhadapan dengan Tuhan. Setiap naama berisi kekuatan yang tak terbatas. Sebagaimana api yang mempunyai kekuatan membakar, demikian juga naama Tuhan mempunyai kekuatan membakar dosa-dosa dan keinginan. Lebih manis dari segala yang manis, lebih berguna dari segala benda yang berguna, lebih murni dari segala benda yang murni adalan naama Tuhan.

Untuk memulai latihan berjapa, hendaknya terlebih dahulu mempersiapkan tempat yang bersih dan sunyi serta jauh dari jngkauan anak-anak dan binatang agar tidak terganggu dalam melakukan latihan dan lebih mudah untuk berkonsentrasi. Untuk japa mala bisa digunakan mala yang terbuat dari bahan biji rudraksa, cendana, atau kayu tulasi yang berjumlah 108 biji.

Duduklah dengan sikap siddhasana. Tempatkan kedua tangan didepan dada dengan sikap tangan anjali, kemudian ucapkan pranawa “OM (AUM)” sebanyak tujuh kali ditujukan kepada tujuh cakra yang terdapat dalam tubuh kemudian dilanjutkan dengan pengucapan Gayatri Mantram satu kali.
Ambilah japa dengan tangan kanan, posisi japa dipegang dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah. Jari telunjuk digunakan untuk menggerakan satu persatu biji mala menuju ibu jari. Posisi tangan saat memegang japa mala diletakan diatas lutut kaki kanan, sedangkan tangan kiri diletakan diatas pangkuan. Ini menunjukan sikap seorang siddha.

Putarlah biji mala sambil mengucapkan japa mantra yang dipilih atau sesuai dengan sampradaya atau garis perguruan. Mula-mula ucapkan dengan keras hingga lembut, hingga mantra itu menyatu dengan batin (diucapkan dalam hati saja). Putarlah japa satu laksa, jika sudah pada biji terakhir, janganlah melewati meru pada japa, melainkan lakukan putaran dengan membalik posisi mala.

Untuk mengakhiri latihan berjapa, hendaknya selalu ditutup dengan pengucapan mantra Guru Puja yang dilanjutkan dengan santhi mantra.

PENGENALAN JAPA DAN MANTRANYA

JAPA = mengulang-ulang kata suci atau bertuah atau mantra. Mengulang tersebut dilakukan hanya dalam ingatan (mental) yang disebut manasika japa, dengan berbisik disebut upamsu japa, dengan bersuara yang terdengar maupun keras disebut wacika japa, dan ada juga dilakukan dengan gerakan atau tulisan/gambar.

MALA = rangkaian biji-bijian, batu, permata, mutiara, mute, merjan, spatika, atau butiran yang terbuat dari keramik, gelas, akar lalang, kayu, seperti kayu tulasi tulsi) dan cendana. Kata mala juga padanan kata tasbih dan rosary. Tasbih yang utama adalah tasbih yang terbuat dari rangkaian biji buah rudraksa.

RUDRAKSA= rudra berarti Siwa dan aksa berarti mata, sehingga arti keseluruhannya berarti mata Siwa, yang sejalan dengan mitologinya bahwa di suatu saat air mata Siwa menitik, kemudian tumbuh menjadi pohon rudraksa menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, Malaysia bahkan sampai ke Bumi Nusantara, yang popular dengan nama GANITRI atau GENITRI. Dalam bahasa latinnya disebut ELAEOCARPUS GANITRUS. Ada tiga macam jenis ganitri dan 4 jenis agak berlainan yang dinamai KATULAMPA.

RUDRAKSA = adalah buah kesayangan Siwa dan dianggap tinggi kesuciannya. Oleh karena itu rudraksa dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya,
bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa (Siva Purana). Sebagai sarana japa atau dapat dipakai oleh seluruh lapisan umat atau oleh ke-empat warna umat, maupun oleh pria atau wanita tua ataupun muda.

Selain pengaruh spiritual/religius tersebut, kepada pemakai rudraksa juga dapat memberikan efek biomedis dan bio-elektomagnetis (energi), secara umum dapat
dikatakan dapat memberi efek kesehatan, kesegaran maupun kebugaran. Hal ini terungkap dari buku tentang penyhelidikan secara mendalam terhadap keistimewaan rudraksa tersebut di India.

Untuk mendapat daya-guna sampai maksimal, tentu harus memenuhi etika dan syarat, apalagi untuk memperoleh manfaat-manfaat khusus, berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki rudraksa sesuai dengan bentuk, rupa serta jumlah mukhi (juringan)-nya. Secara umum dapat disebutkan bahwa rudraksa harus tidak
dipakai/dibawa ke WC, melayat, turut kepemakaman/crematorium, dan tidak dalam keadaan cuntaka (sebel), maupun sebel pada diri wanita. Sebelum dimanfaatkan sebaiknya tasbih genitri itu dipersembahkan di pura, kemudian dimohonkan keampuhannya denagan diperciki tirtha, yang berarti pemakaiannya melalui prosedur ritual. Hal itu ditempuh karena ber-japa dengan tasbih genitri bukan sekedar untuk menghitung-hitung, memakai rangkaian japa-mala rudraksa juga bukan sekedar asesori atau sebagai atribut status quo. Dengan ritual itu ingin dicapai kemantapan bathin yang berdimensi magis, dan memperlakukan japa-mala-rudraksa itu sebagai sarana sakral, di samping untuk kesehatan.

Yang dimaksud dengan etika berjapa, adalah termasuk hal-hal yang akan disebutkan berikut ini. Selama berjapa jagalah jangan sampai bagian bawah tangkainya terkulai begitu saja, apalagi sampai menyentuh tanah. Untuk itu perlu tangan kanan yang meniti butir genitri terangkat setinggi ulu hati dan bagian yang terjuntai ditadah dengan telapak tangan kiri. Ada juga dianjurkan, agar selama berjapa rangkaian rudraksa itu diperlakukan tertutup, bahkan diperlakukan dalam
kantung khusus.

Melakukan japa dengan tasbih genitri sebaiknya dengan sikap bathin yang tenang, serta terpusatkan pada tujuan mantra, selagi ibu jari tangan kanan menggerakkan mala dibantu jari tengah dan satu persatu biji rudraksa itu akan melangkahi bagian ujung jari manis.

Jari telunjung maupun jari kelingking tidak diberikan tugas dan tidak menyentuh biji rudraksa.

Mala yang terdiri dari 108 biji rudraksa diuntai dengan benang katun/kapas, memiliki puncak yang diberi nama MERU . Rangkaian Japamala rudraksa ada juga
diuntai dengan kawat, bahkan deberi berbagai variasi seperti emas, perak, tembaga, manik-manik yang berwarna-warni sesuai dengan ìwarnaî pemakainya.

Melakukan japa mulai dari mala pertama di bawah Meru............. dan terus berakhir pada mala yang ke 108(terakhir). Kalau hendak melanjutkan lagi, maka
mala yang terakhir tadi dianggap yang pertama digerakkan kembali (balik) arah, pantang melewati/menyebrangi Meru. Demikianlah berulang-ulang bolak-balik sampai mencapai jumlah yang dikehendaki.

MANTRA UNTUK BERJAPA

Kebiasaan berjapa dengan mala atau tasbih bagi umat Hindu di Indonesia nyaris tak dikenal, kecuali dikenal hanya dikalangan sulinggih yang memakainya sebagai
pelengkap atribut dalam berpuja. Bahkan dikalangan beberapa generasi Hindu. Jika melihat umat agama lain sedang berjapa dengan mala/tasbih, tidak merasakan bahwa berjapa itu merupakan tradisi miliknya juga. Barulah pada penghujung abad XX ini, umat Hindu Indonesia melebarkan cakrawalanya terutama ke pusat kelahiran agama Hindu, dapat memungut kembali butir-butir Japa-mala yang sudah lama tercecer untuk dimanfaatkan kembali. Tidaklah berlebihan disebutkan di sini, bahwa kini sudah saatnya umat Hindu mengambil
manfaat ber-japa dengan mala terutama yang terbuat dari rudraksa atau genitri.

MANTRA adalah kata suci atau bertuah yang dapat memberi pengaruh atau getaran yang bersifat magis, apabila disebutkan maupun dijapakan, baik secara
ingatan (mansika), berbisik (upamsu), maupun dengan ucapan (wacika). Kata ataupun kata-kata bertuah itu antara lain:

BIJA AKSARA = Yang disebut juga BIJA MANTRA, adalah huruf,atau suku kata, ataupun unsur suku kata itu sendiri yang tak terpisahkan dari tuahnya yang
bergetar abadi

NAMA-NAMA TUHAN= Bukan Tuhannya yang banyak. Tuhan hanya satu, tiada duan-Nya, Melainkan Brahman para cendekia yang bijaksana menyebut dengan berbagai nama.

PUJA TAWA = yang juga memiliki ìnilaiî mantra.

MANTRA-MANTRA:
Dengan memperbandingkan Bija aksara yang kita sudah dikenal dari dulu di Indoenesia dengan Bija mantra yang tersebut dalam buku-buku terbitan India boleh jadi Bija aksara itu juga bisa dipakai untuk mantra-mantra dalam ber-japa- mala.Yang jelas adalah Pranawa OM, Ongkara itu sendiri sebagai Udgita, disamping yang lain-lain seperti: dwi aksara/rwa bhineda, tri aksara, panca aksara, dasa aksara, dasa aksara-bayu dan bija aksara lain yang menjadi pegangan para Husadawan. Ketidak tegasan ini tentu akibat dari pada ìtidakî atau ìbelumî terbiasanya umat Hindu di Indonesia ber-japa-mala.

Tanpa bermaksud meremehkan diri, baiklah kita kutipkan beberapa mantra dari buku-buku terbitan India.

1. OM : Tuhan itu sendiri, merupakan sumber serta asal muasal yang ada, sehingga wajib kita mendekatkan diri kepadaNya, sembah sujud kepadaNYa dengan berserah diri sepenuhnya ....... dstnya.
2. KSHRAUM : bija mantra Narasimha (Narasinga) untuk mengusir, rasa takut dan cemas.
3. AIM (ENG) : bija mantra Saraswati, sebagai perkenan/restu bagi remaja putra-putri agar pandai dalam berbagai cabang pelajaran.
4. SHRI(SRI):bija mantra Dewi Laksmi (Laksmi), yang di Indonesia dikenal dengan nama Dewi Sri Mantra ini di-japa-kan seseorang untuk menuju kemakmuran dan kesenangan.
5. HRIM : bija mantra Bhuwana-ishwari, atau disebut juga mantra Maya.Kegunaannya diterangkan dalam Dewi Bhagwatma, bahwasanya seseorang bisa menjadi pemimpin dan mendapatkan seluruh yang diinginkan.
6. KLIM : bija mantra Raja Kama atau Dewa Kama untuk pemenuhan kemauan seseorang.
7. KRIM :Bija mantra Dewi Kali atau Durga untuk menghancurkan musuh dan memberikan kebahagiaan.
8. DUM : Bija mantra Durga, marupakan ibunya cosmos untuk mendapatkan perlindungan dari padaNya, serta memberikan apa saja yang diinginkan manusia.
9. GAM, GLAUM/GAM GLAUM : Bija mantra Ganesha untuk menyingkirkan rintangan serta mengembangkan sukses. Ga berarti Ganesha, La berarti sesuatu yang dapat meresap dan Au berarti cerdas atau daya pikir yang cemerlang.
10.LAM : Bija mantra Pertiwi (Pritvi), sebagai pertolongan yang menjamin hasil panen baik.
11.YAM : Bija mantra Bayu (Vayu), untuk mejamin hujan.

Masih banyak lagi bija mantra yang lain, terutama yang bersifat khusus, namun yang disajikan di atas sudah memadai, apalagi ditambah nama-nama Tuhan beserta ista dewata, awatara, maupun puja stawa, antara lain:

OM SRI MAHA GANAPATAYE NAMAH; OM NAMAH SIWAYA; OM NAMO NARAYANAYA; HARI OM; HARI OM TAT SAT; OM SRI HANUMAN NAMAH; OM SRI SARASWATYE NAMAH (OM SRI SARASWATYAI NAMAH) ; OM SRI DURGAYAI NAMAH; OM SRI LAKSHMYAI NAMAH; OM SO HAM; OM AHAM BRAHMANASMI; OM TAT TWAM ASI; OM HARE RAMA HARE RAMA RAMA RAMA HARE HARE; HARE KRISHNA HARE KRISHNA KRISHNA KRISHNA HARE HARE; OM SRI RAMA; JAYA RAMA; JAYA JAYA RAMA.

Puja Gayatri atau Sawitri juga dapat di-japa-kan dengan sangat populer dan mahautama. Demikian juga Mahamertyunjaya.

MANTRA MAHA-MRITYUNJAYA
OM TRYAMBAKAM YAJAMAHE SUGANDHIM PUSHTIVARDHANAM;
URVAARUKAMIVA BANDHANAAN MRITYORMUKSHEEYA MAAMRITAAT.

Penjelasan:
Mantra Maha-Mertyunjaya (Mrityunjaya) adalah mantra untuk pang-hurip-an (anuggrah jiwa-kehidupan). Pada saat-saat kehidupan sangat komplek dewasa ini,
kecelakaan karena gigitan ular, sambar petir, kecelakaan kendaraan ber-motor/sepeda, kebakaran, kecelakaan di air dan udara dan lain-lainnya.

Disamping itu, mantra tersebut mempunyai daya perlindungan yang besar, penyakit-penyakit yang dinyatakan tak tertangani secara medis (dokter), dapat
diobati dengan mantra ini, apabila mantra di-uncar-kan (disebutkan secara manasika, upamsu maupun vacika) dengan sungguh-sungguh, jujur dan taat. Mantra tersebut merupakan senjata melawan penyakit-penyakit serta menaklukan kematian.

Mantra Mrityunjaya adalah juga mantra- moksha, mantra-Nya Siwa. Selain memberi berkah mohksha, mantra itu juga memberi berkah kesehatan (Arogya), panjang umur (Dirgha Yusa), kedamaian (shanty), kekayaan (Aiswarya), kemakmuran (Pushti), dan memuaskan (Tushti)

Pada saat ulang tahun mantra ini di-japa-kan sebanyak 100 ribu kali atau paling tidak 50.000 kali, haturkan makanan kepada orang-orang miskin dan orang sakit,
akan mendapat berkah seperti tersebut di atas.

Minggu, 06 Juli 2014

Pahala terhadap sepuluh jenis kebaikan

Semua perbuatan akan mengarah pada Punia (pahala) dan Papa (dosa) dan adalah sesuatu hal yang mutlak bagi manusia untuk menuai apa yang ia tanam. Bagi mereka yang ingin jauh dari Neraka (tempat penderitaan bagi mereka yang berdosa) harus melakukan perbuatan yang baik dan menjauh dari semua jenis kejahatan. Punia yang dihasilkan dari pujan (pemujaan), vrata (segala jenis puasa), japa (mengulangi nama tuhan), tapa (melakukan perenungan), Homa (upacara api) dan dana (menyumbang). Yang tertinggi adalah memberikan sumbangan. Bagi mereka yang berdosa sekalipun, kedermawanan akan menghasilkan punya. Bagi mereka yang sudah menghuni neraka sekalipun, punia masih bisa membantu.
            Bagi mereka yang ingin mendapatkan punia harus melakukan perbuatan yang menghasilkan pahala. Seseorang itu harus memberikan sumbangan dan juga melakukan perbuatan baik. Adalah dosa bagi mereka yang tidak memberikan sumbangan. Sepuluh kedermawanan yang baik adalah – memberikan emas, biji wijen, gajah, perawan, pembantu, kuda, kereta, permata (batu berharga), sapi hitam dan tanah. Segala sesuatu yang disayangi oleh seseorang jika diberikan pada orang lain adalah sumbangan, yang akan menghasilkan pahala. Tetapi sumbangan harus diberikan pada mereka yang membutuhkan, orang yang pantas mendapatkannya. Ini bisa dilakukan kapanpun juga.
            Bagi mereka yang memberikan emas akan menghancurkan dosa dimasa lalu dan masa sekarang. Bagi mereka yang memberikan sapi maka keinginan mereka akan terkabul. Bagi mereka yang memberikan tanah akan terlahir kembali sebagai manusia. Menghiasi seekor sapi dengan biji wijen dan seekor ternak dengan emas dan memberikan binatang itu untuk disumbangkan akan menjadikan seseorang itu penghuni swarga hingga kepemimpinan Dewa Indra yang keempat belas kali. Bagi mereka yang memberikan til (biji wijen) sebagai sumbangan akan membuat dosa mereka sirna. Ini akan menghapus dosa yang disengaja maupun yang tidak disengaja baik dimasa anak-anak maupun masa remaja. Dalam hal ini, sumbangan yang diberikan pada saat tertentu akan lebih memberikan hasil.
            Ketika musim panas tiba, alas kaki harus diberikan pada orang yang lebih memerlukan daripada pemberi. Bagi mereka yang memberikan payung akan mendapatkan akan mendapatkan jalan hidup yang lebih teduh. Semua punia yang diberikan dengan tulus akan menghasilkan pahala. Bagi mereka yang terlahir sebagai manusia dan di bumi – mereka yang lahir sebagai mereka yang mengetahui hal ini harus memeberikan sumbangan jika mereka menginginkan kenyamanan pada kehidupan mereka berikutnya.

Dosa dan tingkatan Dosa

Seseorang yang menginginkan suami orang, harta benda orang lain, uang orang lain dan mereka yang ingin mencelakai orang—adalah pendosa psikologi atau mental. Membicarakan orang lain dan menggosip adalah dosa karena lidah. Memakan makanan yang tidak baik (tidak suci, hal yang terlarang), yang membuat orang lain sakit, melakukan perbuatan tidak baik, mencuri adalah dosa tubuh. Ini adalah dosa yang tertinggu (maha papa). Benci kepada Tuhan adalah dosa yang terdalam. Memberikan sedekah pada mereka yang tidak berhak mendapatkannya, yang tidak baik, membaca buku yang dilarang—tinggal dirumah yang tidak disucikan oleh ‘vaastu’ (cara membangun yang benar) dan pemujaan yang tepat – tidak pernah berderma adalah dosa. Membunuh Brahmana, meminum minuman keras, mencuri emas, menggoda istri guru- berteman dengan orang jahat, membuat orang menjadi pendosa besar (maha papi). Menghina orang yang baik, mencuri uang para dewa (patung di kuil), menghasilkan uang dengan cara yang tidak benar, tidak melakukan upacara, membunuh orang yang tidak berbahaya, binatang yang tidak buas, juga adalah dosa. Demikian juga melukai atau menganiaya Brahmana, memenuhi keinginan  indra, perzinahan, pelecehan seksual pada wanita adalah dosa yang lainnya.
            Seorang kakak yang membiarkan adiknya menikah terlebih dahulu akan disebut sebagai parivitti. Sebuah yajna dengan adanya kakak yang seperti itu adalah dosa. Menikahkan perawan pada orang yang seperti itu adalah dosa. Meninggalkan dharma, kewajiban, mengikuti dharma orang lain, mencoba untuk belajar obat-obatan tanpa pengetahuan yang cukup, melakukan ilmu hitam, menghancurkan sebuah taman, menghina tamu, kikir, menganiaya orang yang lebih lemah semuanya adalah dosa. Membantu, menolong dan melakukan kebaikan adalah punia atau pahala. Diantara dosa itu, yang paling berat adalah dosa perzinahan (perselingkuhan). Bagi mereka yang diketahui melakukannya akan dihukum oleh raja, tetapi bagi mereka yang tidak ketahuan maka akan dihukum oleh Dewa Yama sendiri.

Munculnya Ganapati

Suatu hari saat Dewi Parwati sedang mandi, Dewa Siwa tiba-tiba masuk. Dewi Parwati merasa malu, ia berhenti mandi dan segera menuju ke peraduannya. Pengawal pribadinya Jaya dan Wijaya mengatakan bahwa mereka tidak bisa menghentikan Dewa Siwa karena mereka hanyalah pelayan. Akan lebih baik menurut mereka jika Dewi Parwati memiliki penjaga sendiri layaknya Siwagana. Jika ia memiliki pengawal pribadi, ia bisa menghentikan Dewa Siwa. Jika Dewa Siwa adalah raja, maka Dewi Parwati adalah ratu. Mendengar hal ini, Dewi Parwati menggosok kotoran dari tubuhnya dan dalam sekejap ia membuat figur maskulin dan menghidupkannya. Saat itu juga seorang anak laki-laki yang gemuk dan lucu muncul. Ia memberkatinya dan menyuruhnya menjaga pintu. Anak itu menjaga pintu.
            Ketika Dewa Siwa datang dan hampir akan masuk, anak ini menghentikannya dan mengatakan bahwa tanpa ijin Dewi Parwati tidak ada yang boleh masuk. Pertarungan terjadi. Pengikut Dewa Siwa tidak bisa mengalahkan anak ini. Tiga kali mereka berusaha masuk tetapi tiga kali pula mereka gagal.
            Dewi Parwati mengetahui hal ini, merasa senang. Iapun memberitahu anak ini untuk tetap melakukan tugasnya.
            Dewa Siwa tidak ingin berkompromi. Brahma datang dan meminta anak ini jangan sampai terpengaruh. Mungkin anak ini berpikir bahwa ia juga adalah bagian dari para gana dan iapun menarik kumis dan jenggot Brahma. Dewa Brahma, mengatakan bahwa ia adalah seorang brahmana dan tidak akan melawannnya, iapun kembali kekediamannya.
            Tidak ada yang bisa mengalahkannya kecuali Kartikeya. Dewa Wisnu merasa bahwa tulangnya telah patah karena pukulan Ganapati. Doa pada dewa Siwapun diucapkan. Dewa mengangkat trisulanya dan mengarahkannya pada leher anak itu. Kepala anak itu terpenggal dan dibawa kehadapan Dewa Siwa.
            Dewi Parwati sangatlah marah. Dari kemarahannya itu muncullah kekuatan yang amat dahsyat. Karati, Kubjuka, Kanza, Lambhashirsha dan yang lainnya. Bahkan Dewa Siwa sendiri sangatlah terkejut. Ia hanya melihat saja tapa melakukan apapun. Para bidadari dan juga para dewa memohon pada Dewi Parwati. Para rsi dan orang suci yang dipimpin oleh Narada menghadapnya. Rajajeshwari tetap bersikeras bahwa putranya harus dihidupkan kembali. Ia mengatakan pada Siwa bahwa ia tidak akan menarik Shakteya gananya.
            Dewa Siwa menyerah. Ia mengirimkan gananya untuk pergi ke utara dan mengambil kepala binatang apapun yang bisa mereka peroleh. Sementara itu tubuh anak tanpa kepala itu telah dimandikan dan dihias dengan perhiasan dan juga diwangikan dengan parfum. Dengan cepat para gana kembali dengan kepala gajah dan mereka memasngkannya pada tubuh anak itu. Para bidadari dan para dewa berdoa agar sinar dewa menyatukan kepala gajah dan tubuh anak itu. Dewa Siwa menjawab doa itu. Ganapati hidup dengan kepala gajah. Anak ini bercahaya kemerahan. Ibu Mulia sangat bahagia. Ia bahagia karena putranya telah hidup kembali walaupun hanya dengan kepala seekor gajah. Ia telah puas dan dunia kembali aman.

CHENCULA MENYELAMATKAN SUAMINYA

Suatu hari Chencula memohon dan bertanya pada Ibu Tertinggi dimanakan suaminya Binduga. Iapun  mendapatkan jawaban. Ia berada di Neraka mendapatkan buah atas perbuatannya. Ibu Tertinggi memberitahunya bahwa ia telah menjadi arwah yang jahat dan mengganggu (Pishacha) berkelana di gunung Vindhya. Chencula berdoa untuk pengampunannya. Ibu Mulia yang amat pengasih tersenyum dan mengirim Tumbura, seorang Gandharwa (makhluk surgawi) bersama dengan Chencula ke Gunung Vindhya. Ia memberitahu Tumbura untuk menceritakan Siwa Purana pada pendosa Binduga, yang akan menghancurkan dosanya. Tumbura kemudian diberikan dua pelayan Siwa sebagai pendampingnya.
            Di gunung itu, Tumbura menemukan dimana arwah jahat itu berada. Tetapi arwah itu tidak mau mendengarkan Siwa Purana. Oleh karena itu pelayan Siwa mengikatnya. Tumbura memainkan alat musik dan menyanyikan keagungan Maha Siwa. Gunung ini dipenuhi dengan melodi yang sangat indah. Para bidadari turun dari surga untuk mendengarkan melodi tentang keagungan Siwa dan perbuatannya.
            Sedangkan Binduga telah lepas dari kejahatannya dan ia telah pulih. Kejahatannya sirna. Ia telah berubah menjadi makhluk yang bersinar. Chencula bersama dengan suaminya mencapai Kailasha dan mereka hidup bahagia selamanya.
            Begitulah kekuatan berkah Siwa.

CERITA CHENCULA

Di sebuah tempat yang bernama Baskhala hiduplah seorang Brahmana yang bernama Binduga dengan istrinya Chencula. Binduga terperangkap oleh seorang wanita yang buruk tabiatnya. Ia tidak pernah pulang atau menemui istrinya. Itulah yang membuat Chencula sakit hati dan menderita, Chencula kemudian juga ikut mencari teman laki-laki yang juga bertabiat buruk untuk membalas perbuatan suaminya.
            Mengetahui hal ini, Binduga pulang suatu hari dan memukulinya. Chencula menuduh suaminya tidak setia dan menyalahkan suaminya atas semua yang terjadi.
            Setelah bertengkar cukup lama, keduanya sepakat. Chencula yang akan bekerja dan kemudian memberikan uangnya pada suaminya. Tidak ada yang akan ada pria yang mau membayarnya. Mereka setuju untuk berpura-pura selayaknya suami dan istri yang sebenarnya.
            Seiring waktu yang telah berjalan, Chencula kemudian menjadi janda. Ia berkelana tanpa tujuan. Ia kemudian tiba di Gokarna Kshetra (kshetra adalah tempat perziarahan). Di kuil Mahabeleshwar ia mendengarkan wacana tentang Siwa Purana. Ia kemudian paham, bahwa pendosa akan pergi ke neraka, tempat dimana Yama Dharmaraja akan memberikan hukuman pada pendosa. Iapun pergi. Sehari setelah wacana itu, ia pergi ke Pauranik (pencerita purana) dan mengakui dosanya. Pauranik itupun menyarankan agar ia tetap mendengarkan wacana itu dan mengingat Tuhan selalu. Ia melakukannya.
            Sebagai hasilnya, setelah ia meninggal ia dibawa ke Kailasa, dimana ia menjadi sahabat Ibu Tertinggi, Gauri.

KISAH DEWARAJA

Pada jaman dahulu kala, di Kirata Nagara hiduplah seorang brahmana yang bernama Dewaraja. Ia menjalani kehidupan yang tidak teratur dan hidup yang amat buruk. Ia tidak pernah mandi dan berdoa. Satu-satunya tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk menghasilkan banyak uang dan kemudian menghamburkannya sesuka hatinya. Ia menipu orang lain dan juga bertikai dengan teman atau sanak-saudaranya. Suatu hari ia pergi ke sebuah kolam pemandian yang amat segar dan disana ia bertemu dengan seorang wanita jahat yang bernama Shobawati. Ia terperangkap oleh kejahatan wanita itu. Ia menghaburkan uangnya untuk wanita itu. Orang-tuanya dan istrinya berusaha untuk memberinya nasehat namun ia tidak perduli. Setelah semua uangnya habis, wanita itupun mencampakkannya.

Brahmana itu tiba disebuah tempat yang bernama Pratishthana Pura. Disana ia jatuh sakit. Ia merasa bahwa ajalnya akan tiba. Ia berlindung di sebuah kuil Dewa Siwa. Ia berbaring dan tak mampu bergerak. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mendengarkan Purana dan juga wacana keagamaan di tempat itu. Wacana dan pravachana ini berakhir pada saat nafas terakhirnya terhembus.

Utusan Dewa Kematian (Yama) datang menjemput arwah (prana) brahmana itu menuju ke tempat mereka. Namun dihalangi oleh utusan Siwa, Siwaduta. Utusan Yama membebaskan brahmana yang berdosa, Dewaraja. Tetapi kemudian utusan Dewa Siwa mengatakan apapun yang ia lakukan dalam hidup dan bagaimana caranya ia hidup terdahulu, pada hari –hari terakhirnya hidup ia telah mendengarkan Siwa Purana yang menghapus semua dosanya hingga bersih. Setelah berkata seperti itu, mereka membawa arwah brahmana itu ke Kailasa, kediaman Dewa Siwa.

Dharma (nama lain Yama) ketika ditanyai oleh pelayannya mengenai kejadian itu menjelaskan, begitulah keagungan Dewa Siwa dan berkah seperti itulah yang diberikan pada orang yang telah mendengarkan Siwa Purana.

Kamis, 03 Juli 2014

Upacara Mebayuh Oton

Menurut buku wariga agung, Mebayuh bisa diketegorikan dalam dua klasifikasi ;

1  Mebayuh yang bersifat reguler atau berkelanjutan yang dilaksanakan setiap perubahan status, misalnya dari staus anak - anak menjadi remaja, dari status remaja menjadi dewasa (menikah), dari status dewasa menjadi orang tua, dan dari status menjadi orang tua menjadi kakek atau nenek. 

2.      Mebayuh yang dilaksanakan karena kondisi tertentu, misalnya kelainan jiwa, terkena kesakitan, sering menemui ala atau kecelakanaan dan hala - hal yang bersifat marabahaya lainnya. 

Menurut sastra: Lontar Jyotisha mebayuh atau metubah atau mebebangan untuk “mengurangi keburukan dan menambah kebaikan” maka upacara itu dilakukan pada saat otonan ybs menurut perhitungan: wuku, sapta wara, dan panca wara.

Otonan berasal dari kata pawetuan dan lebih mendasar lagi berasal dari kata wetu, yang artinya keluar atau lebih tepatnya dalam kaitan ini : lahir. Jadi otonan adalah upacara memperingati hari kelahiran kita (manusia). Mengapa otonan perlu diperingati melalui pelaksanaan upacara. Ada beberapa hal yang penting dikemukakan :

1.    Menyatakan terima kasih kepada Sanghyang Widhi karena roh diperkenankan lahir kembali (re-inkarnasi) menjadi manusia. Kitab suci Sarasamuscaya VI.4 menyatakan : “Apan iking dadi wang, utama juga ya, nimitaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wang ika”. Terjemahannya : Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebab demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

2.     Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa manusia mempunyai tiga “badan” : stula sarira, suksma sarira, dan duta karana sarira. Setiap manusia wajib memelihara ketiga badan ini dengan baik agar dapat mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah. Stula sarira dipelihara dengan menjaga kesehatan dan vitalitas. Suksma sarira dipelihara dengan melaksanakan upacara-upacara manusa-yadnya. Dan bila stula sarira dan suksma sarira dalam kondisi “sehat” maka dengan sendirinya duta karana sarira akan sehat pula. Salah satu upacara manusa-yadnya adalah otonan.