Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin
mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan
dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini
menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam
tatanan kehidupannya.
Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan
menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia
Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan
antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Sanggah
Pamrajan.
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”,
berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal
dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan
demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu
kelompok keturunan atau keluarga.
Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih
utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah
leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lainnya.
Sanggah
Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.
- Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
- Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.
- Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
- Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
- Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
- Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
Pintu/
Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya
agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru.
Setelah berada di dalam Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan
antara lain:
1.
Tidak melakukan perbuatan yang dapat
mengganggu ketentraman bersembahyang.
2.
Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
3.
Tidak membuang kotoran
4.
Tidak bertengkar/ berkelahi
5.
Tidak berbicara keras/ memaki,
memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.
6.
Tidak bersedih, menangis/ meratap.
Selain
sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Sanggah Pamrajan berkembang
menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
- Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
- Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.
- Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.
- Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll.
- Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari
Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara Sanggah
Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama
kali.
Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan
adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta
pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan),
Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari
kelahiran = wedal).
Sumber : http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar