Diceritakan hingga pada tahun 1677 M (Caka 1599), I Gusti
Agung Maruti keturunan Arya
Kepakisan ( Shri
Nararya Kreshna Kepakisan ) telah ± 26 tahun menduduki tahta kerajaan
Gel-gel. Putra bungsu Raja Dalem Di Made sebagai penerus sah tahta kerajaan
Bali bernama I Dewa Agung Jambe berada dalam wilayah penyingkiran di Desa
Guliang. Setelah sekian lama menunggu waktu di wilayah penyingkiran, dengan
dibantu oleh laskar Anglurah Sideman dari sisi Timur, juga oleh laskar I Gusti
Panji Sakti dari sisi utara (Buleleng) serta dari arah Barat didukung oleh Kyai
Jambe Pule (Badung), bahu-membahu menyerang Gel-gel untuk merebut kembali
tampuk kekuasaan kepada garis keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan. Dalam
pertempuran yang demikian hebat oleh prajurit-prajurit handal pada ke dua belah
pihak, akhirnya kemenangan diperoleh oleh pasukan Ida Dewa Agung Jambe, dalam
peperangan tersebut menjadikan runtuhnya kekuasaan Raja I Gusti Agung Meruti di
Gelgel. Dalam situasi seperti itu secara otomatis seluruh perangkat struktur
kerajaan I Gusti Agung Maruti yang masih hidup secara serentak menyelamatkan
diri.
Kyayi Agung Dimade atau I Gusti Agung Maruti berputra empat
orang, dua orang pria: I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti Agung Made Agung, dan
dua orang wanita: I Gusti Agung Ayu Sasih kawin dengan seorang brahmana Geriya
Kutuh Kamasan, adiknya ikut ke Jimbaran, bernama I Gusti Agung Ayu Ratih.
Ketika I Gusti Agung
Meruti dalam perjalanan meninggalkan kota Gelgel menuju kearah Barat, maka
perjalanan tersebut dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kekwatiran akan
kejaran pihak lawan. I Gusti Agung Maruti saat melakukan perjalanan kearah
barat di ikuti oleh Putra-putri beliau yakni I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti
Agung Anom dan I Gusti Ayu Made Ratih bersama saudara tirinya; Bendesa
Prawangsa, Bendesa Kedeh dan Bendesa Miber, demikian pula saudara sepupunya
bernama I Gusti Agung Putu Kaler Pacekan dan panjak-panjak/rakyatnya yang setia
dengan total jumlah berkisar 1200-1600 orang, menuju arah barat hingga tiba di
wilayah Jimbaran .
Setelah cukup lama dalam perjalanan, maka pengungsian I
Gusti Agung Meruti sampai di sebuah hutan di Desa Jimbaran.Di sana beliau
disambut oleh lascar bersenjata dibawah pimpinan Ida Wayan Petung Gading yang
pada saat itu menjadi penguasa di Desa Jimbaran, I Gusti Agung Meruti tidak
mengadakan perlawanan serta memohon perlindungan kepada Ida Wayan Petung Gading.
Setelah disampaikan kisah perjalanannya dari Gelgel sampai tiba di Jimbaran,
akhirnya I Gusti Agung Meruti beserta rombongannya diterima dengan baik .
Setelah saling mengenal muncul hubungan yang semakin akrab dan intim antara Ida
Wayan Petung Gading dengan I Gusti Agung Meruti, sampai-sampai I Gusti Agung
Meruti diangkat sebagai saudara oleh Ida Wayan Petung Gading. Sebagai tanda
eratnya hubungan persaudaraan ini, maka I Gusti Agung Meruti menerima suatu
pemberian yang sangat berharga, yakni seorang putri dari Ida Wayan Petung
Gading yang bernama I Dewa Ayu Mas Jimbaran . Karena beliau sudah berusia
lanjut, maka putri tersebut diserahkan kepada putra beliau yang tertua yaitu I Gusti Agung Putu Agung. Dari
perkawinan I Gusti Agung Putu Agung
dengan I Dewa Ayu Mas Jimbaran
melahirkan seorang putra yang setelah dewasa di beri nama I Gusti Agung Gde Jimbaran.
Dengan diterimanya rombongan pengungsian keluarga I Gusti
Agung Meruti bersama 1200-1600 orang pengikutnya di Jimbaran, sudah barang
tentu segala pertanggungjawaban keamanan dan kelangsungan hidupnya menjadi
tanggung jawab dari penguasa wilayah Jimbaran. Mulai saat itu dapatlah dimulai
kehidupan rombongan pengungsian kembali kepada kehidupan baru, dengan mulainya
dibuat sarana pawongan berupa tempat-tempat tinggal beserta kelengkapan parhyangannya
sebagaimana yang ditunjukkan Ida Brahmana Wayan Petung Gading. Selama tinggal
di Jimbaran, I Gusti Agung Maruti senantiasa mohon keselamatan di Pura Ulun
Siwi.
Tidak berselang lama timbul permasalahan antara I Gusti
Agung Meruti dengan I Gst Putu Kaler Pacekan. Atas usaha liciknya Kryan Kaler
Pacekan berhasil membujuk rakyat I Gusti Agung Maruti untuk ikut bersamanya,
dan berhasil mendapatkan keris Ki Sekar Gadhung dan Ki Panglipur. Atas kejadian
itu IGusti Agung Meruti memutuskan untuk pergi meninggalkan Jimbaran menuju
penguasa Badung Kiayi Tegeh Kori.
Sesampainya di Badung, beliau diterima oleh Kiayi Tegeh
Kori, namun beliau dinasehati yakni sebaiknya agar beliau pergi ke Kapal saja,
dan minta bantuan kepada Pangeran Kapal. Nasehat itu diterima oleh I Gusti
Agung Meruti. Di samping itu agar tidak mengganggu perjalanan pengungsian, maka
Kiayi Tegeh Kori menasehati agar istri dan putra I Gusti Agung Putu Agung yang
masih kecil di biarkan tinggal di Badung. Nasehat ini diikuti oleh I Gusti
Agung Putu Agung , lalu I Gusti Agung
Gde Jimbaran dititipkan kepada Kiayi Tegeh Kori serta diasuh oleh ibunya I Dewa Ayu Mas Jimbaran. Setelah dewasa
anak ini diberikan tempat oleh Kiayi Tegeh Kori di Lumintang yakni masih termasuk daerah kekuasaan Badung.
Babad Pratisentana Dalem Petak Jimbaran menceritakan juga
terkait dengan I Gusti Agung Gde Jimbaran dengan ibunya I Dewa Ayu Mas Jimbaran
, “Sebagaimana terungkap dalam penjelasan pada kisah kepergian I Gusti Agung
Putu Agung dari Jimbaran ke Kapal dan akhirnya kembali lagi ke Jimbaran, tidak
pernah termuatkan tentang certitera istri dan anaknya I Gusti Gd Jimbaran di
daerah Lumintang, di wilayah pemberian dari penguasa Badung (Arya Tegeh Kori).
Namun dalam kenyataannya kini kita temukan Pura Penyungsungan Dewa Ayu Mas
Jimbaran, yang diempon oleh putra paperasan Ida. Juga keturunan dari I Gusti Gd
Jimbaran ternyata ada di tempat lain yaitu di Penebel, Tabanan. Ini
mengindikasikan bahwa putri dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading, yakni I Dewa
Ayu Mas Jimbaran, kembali lagi ke Jimbaran (mulih Daha). Status hak mulih Daha
adalah sah sebagai bahagian dari keluarga keturunan Ida Brahmana Wayan Petung
Gading “.
Tidak dikisahkan dalam perjalanan, sesampainya di Kapal maka
Pangeran Kapal ( Arya Delancang ) menerima I Gusti Agung Maruti dengan senang
hati, sehingga akhirnya beliau menghambakan diri di sana sebagaimana halnya
leluhur beliau dulu yaitu Pangeran Made Asak.
Setelah beberapa lama I Gusti Agung Meruti bersama
putra-putrinya mengabdi di Kapal, maka suatu saat timbul permusuhan antara
Pengeran Kapal dengan Pangeran Buringkit, dimana kemarahan Pangeran Buringkit
berawal dari kematian putrinya yang dipinang oleh Pangeran Kapal. Menurut
cerita, maka saat putri Pangeran Buringkit sampai di kapal ternyata dikawinkan
dengan seekor kuda kesayangan Pangeran Kapal, sehingga sang putri menemui
ajalnya di kandang kuda. Hal ini dilakukan oleh Pangeran Kapal adalah untuk
memenuhi kaulnya terhadap kuda kesayangan beliau yang sedang sakit, yakni jika
kuda itu sembuh maka akan dipinangkan seorang putri.
Demikian besarnya kemarahan Pangeran Buringkit, sehingga
terjadilah perang Kapal dengan Buringkit. Sudah barang tentu pada saat peperangan
tersebut, Pangeran Kapal di bantu oleh I Gusti Agung Meruti dan putra-putranya
. Menghadapi Pangeran Kapal dan I Gusti Agung ini ternyata Pangeran Buringkit
menjadi takut dan mengundurkan diri.
Namun disisi lain, kekalahan pasukan Pangeran Buringkit,
tidak menyurutkan upayanya meraih kemenangan. Dengan jalan mohon bantuan kepada
I Gst Putu Kaler Pacekan yang saat itu masih tinggal di Jimbaran hal mana
memiliki permasalahan dengan I Gusti Agung Maruti, dengan mengandalkan keris
pusaka Ki Sekar Gadung, akhirnya peperangan dapat dimenangkan kembali oleh
Pangeran Buringkit.
Atas kekalahan ini I Gusti Agung Maruti pergi meninggalkan
Kapal kembali ke Jimbaran. Selama beberapa waktu bersemedi di Pura Dalem
Balangan Jimbaran, akhirnya mendapatkan petunjuk untuk bersemedi di Pura Goa
Gong. Dengan melakukan semedi di tempat tersebut I Gusti Agung Maruti
mendapatkan sebuah Keris bernama Ki Bintang Kumukus. Dari sini pula didapatkan
petunjuk untuk menuju suatu tempat di daerah timur yang terlihat seperti embun
yang bersinar keemasan. Setelah ditelusuri ternyata embun bersinar keemasan itu
bersumber pada sebuah bebaturan pelinggih yang berada di alas Gianyar. Di
tempat itulah kemudian dibangun sebuah Pura yang kemudian diberinama Pura Mas
Ceti. Sebagai tempat beristirahat kemudian beliau mendirikan sebuah rumah
sederhana (kuwu). Sejak saat tersebut daerah sekitarnya kemudian diberinama
Kuwumas, selanjutnya disebut Kuramas.
Dengan tersiarnya kabar I Gusti Agung Meruti mendapat
panugrahan ini, kemudian I Gusti Agung Maruti kembali menyusun rencana
penyerangan untuk membalas kekalahannya terhadap I Gusti Putu Kaler Pacekan.
Dengan pertimbangan yang matang akhirnya diputuskanlah untuk kembali menyerang
I Gusti Putu Kaler Pacekan ke Buringkit berbekalkan Keris Ki Bintang Kukus.
Dalam penyerangan tersebut akhirnya I Gusti Putu Kaler Pacekan dapat dikalahkan
dan gugur sebagai ksatria di Gunung Pegat. Putra-putranya dan pengikutnya
menyelamatkan diri ke berbagai tempat. Atas kemenangan ini I Gusti Agung Maruti
menjadi penguasa wilayah Kapal dan Buringkit dan menandai bangkitnya kembali
trah Arya Kepakisan dalam kancah perpolitikan di Bali kala itu. Sadar akan
kebangkitan itu tidak lepas dari bantuan secara sekala oleh Ida Brahmana Wayan
Petung Gading, secara niskala adalah berkat dari permohonannya di Pura Ulun Siwi dan Pura
Dalem Balangan, Pura Goa Gong dan Pura Mas Ceti. Maka untuk selanjutnya
kekuasaan di Kapal diserahkan kepada putra keduanya I Gst Agung Made Agung
beserta keris pusaka Ki Sekar Gadung dan Ki Panglipur. Kemudian I Gst. Agung Maruti beserta putranya I Gusti
Agung Putu Agung dan putrinya I Gusti Agung Istri Ayu Made, meninggalkan Desa
Kapal bersama pengikutnya yang masih setia menuju Desa Jimbaran.
Sekembalinya dari kemenangan di Kapal, muncullah niat I
Gusti Agung Maruti untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada
sekala dan niskala yang telah menganugerahi kesempatan hidup dan kemenangan
yang membahagiakan. Sebagai implementasi dari bhisama kasemetonang dengan Ida
Brahmana Wayan Petung Gading, dipugarlah Pura Ulun Siwi tempat beliau dahulunya
selalu mohon keselamatan. Bersama dengan Ida Bhrahmana Wayan Petung Gading,
Gedong Meru Tumpang Solas yang telah ada sebelumnya dibuat menjadi 2 rong. Satu
rong sisi Utara sebagai stana leluhur dari I Gusti Agung Maruti, sedangkan rong
sisi selatan sebagai stana leluhur dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading. (I
Gusti Agung Maruti, leluhurnya adalah Raja Kediri). Uniknya dibuat menghadap ke
Timur sehingga jika bersembahyang mesti menghadap ke Barat.
Setelah kegiatan itu I Gusti Agung Meruti memutuskan
menempatkan Bendesa Miber yang lebih dikenal dengan sebutan Bendesa Salain
untuk tetap tinggal di Jimbaran. Sedangkan Bendesa Kedeh dan Bendesa Prawangsa
diajak bersama menuju Keramas. Dengan demikian yang masih tinggal di Puri
Pesalakan Jimbaran selain Keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading juga
keturunan I Gst Miber yakni Bendesa Miber/Bendesa Salain. Bendesa Salain
diserahi tugas untuk merawat merajan yang telah dibangun di Puri Jimbaran dan
pura Ulun Siwi. Juga tidak diperkenankan melupakan Pura Dalem Balangan.
Seperti telah dibahas di muka, bahwa I Gusti Agung Made
Agung telah diangkat untuk memimpin daerah Kapal dan Buringkit, dengan pusat
pemerintahan di Puri bekas kediaman Pangeran Kapal atau Arya Delancang.
I Gusti Agung Made Agung beristerikan Ni Gusti Luh Bengkel,
puteri dari Kryan Bebengan, menurunkan putera satu – satunya bernama I Gusti
Agung Putu. Puteranya adalah hasil dari permohonan I Gusti Agung Made Agung
bersama isterinya di Pura Sada, yaitu anugerah dari Bhatara Hanandharu. Setelah
I Gusti Agung Made Agung wafat, digantikan oleh putera beliau I Gusti Agung
Putu.
Dalam kisah selanjutnya, I Gusti Agung Putu sempat
dikalahkan dalam sebuah peperangan ketika menghadapi I Gusti Batu Tumpeng yang
tinggal di desa kekeran.
I Gusti Agung Putu sempat di tawan dan di serahkan kepada
penguasa di Tabanan. Namun tidak lama kemudian, I Gusti Agung Putu di serahkan
kepada penguasa di Marga.
Dengan segala suka duka dan romantika kehidupannya, kemudian
I Gusti Agung Putu berhasil kembali bangkit dan menundukan satu demi satu
wilayah yang sempat pernah dikuasai sebelum kekalahannya melawan I Gusti Batu
Tumpeng.
Bahkan perang tanding melawan Pasek Badak dari Buduk dengan
mempertaruhkan negerinya dan rakyatnya masing-masing sempat dimenangkan I Gusti
Agung Putu.
Begitu luasnya kekuasaan beliau ( sampai ke Blambangan Jawa
Timur ), lalu beliau di beri gelar I Gusti Agung Ngurah Agung Bima Sakti (
Cokorda Sakti Blambangan ) dan dinobatkan sebagai Raja Mengwi.
Pada suatu ketika terjadi perselisihan antara Raja Tabanan
dengan saudaranya di Penebel. Perselisihan mereka sangat mendalam sampai
menjerumuskan mereka kedalam perang saudara. Mereka berperang sangat lama
sampai berbulan-bulanan, tidak ada yang kalah atau menang. Dalam situasi
demikian Penguasa Tabanan lalu dating ke Mengwi untuk minta bantuan I Gusti
Agung Putu. Raja Mengwi menyanggupi untuk membantu peperangan Raja Tabanan
melawan Penebel, dengan syarat bila I Gusti Ngurah Ubung Raja Penebel dapat
dituntukkan agar Desa Marga diserahkan ke Mengwi, karena Marga sangat berjasa
kepada I Gusti Agung Putu, sampai mendapatkan kekuasaan dan kedudukan seperti
sekarang ini. Syarat tersebut diterima baik oleh I Gusti Ngurah Tabanan.
Setelah selesai membuat perjanjian, lalu I Gusti Agung Putu bersiap-siap
memimpin lascar Mengwi menyerang Penebel dari arah Timur/Selatan.
Diantara lascar yang terpilih turut juga I Gusti Gde Ngurah Kandel dalam
penyerangan tersebut, beliau ini adalah cucu dari I Gusti Agung Gde Jimbaran , yang dahulu pada saat I Gusti Agung Maruti menuju Pangeran
Kapal dititipkan di Badung pada Kiayi Tegeh Kori, dan setelah dewasa diberikan
tempat di Desa Lumintang ( Badung ).
Di Lumintang I Gusti
Agung Gde Jimbaran berputra dua orang, I
Gusti Gde Petandekan dan I Gusti Gde Karang. I Gusti Gde Petandekan berputra
I Gusti Gde Ngurah Kandel dan I
Gusti Gde Karang berputa I Gusti Luh Jembung ( putung ) . Pada waktu masih
menetap di Lumintang I Gusti Gde Ngurah Kandel berselisih dengan pamannya I
Gusti Gde Karang, yang menyebabkan I Gusti Gde Ngurah Kandel meninggalkan Desa
Lumintang, dengan berbekal dua pusaka keris Ki Tinjak Lesung dan keris Ki Bugbug , I Gusti Gde Ngurah Kandel menghamba di Puri Mengwi. Demikianlah kisah penghambaan I Gusti
Gde Ngurah Kandel, dan pada penyerangan Mengwi ke Penebel ikut memperkuat
barisan lascar Mengwi.
Tidak dikisahkan ramainya peperangan Tabanan melawan
Penebel, dari mulai awal sampai selesai perang menelan waktu tidak kurang dari
tiga tahun. Dengan tewasnya I Gusti Ngurah Ubung ( Penguasa Penebel ) , maka
tunduklah rakyat Penebel kepada Raja Tabanan ( 1820 ) . Sesuai dengan perjanjian Desa Marga
diserahkan menjadi kekuasaan Mengwi, selain itu 40 buah tombak, sepucuk bedil
yang bernama Ki Batan Tunjung, 2 buah tabuh ( kulkul ) bernama Ki Janghal dan
Ki Macan dibawa ke Mengwi. Menurut Babad Tabanan I Gusti Agung Putu juga
mendapat seorang Putri cantik yang bernama I Gusti Luh Made Layar putri Ki
Gusti Asem dari Jero Aseman.
Selesai perang I
Gusti Gde Ngurah Kandel memohon kepada Penguasa Tabanan agar diijinkan
menetap di Penebel, dan oleh Raja Tabanan ( I Gusti Ngurah
Agung ) diberikan tempat disebelah Selatan
bekas kediaman Penguasa Penebel yang lalu dan juga di berikan hadiah sebilah keris yang diberi nama Ki Nebelan. Disana I Gusti Gde Ngurah Kandel
membuat rumah yang disebut Jero
Kepakisan dan menetap sampai sekarang.
Daftar Pustaka :
1. Buku Babad Shri Nararya Kresna Kepakisan, oleh Pengurus Pusat Pasemetonan Pratisentana Shri Nararya Kresna Kepakisan 2002.
2. Babad Pratisentana Dalem Petak Jimbaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar