Senin, 25 Maret 2019

Babad Jero Kepakisan Penebel


Diceritakan hingga pada tahun 1677 M (Caka 1599),  I Gusti Agung Maruti keturunan  Arya Kepakisan ( Shri Nararya Kreshna Kepakisan ) telah ± 26 tahun menduduki tahta kerajaan Gel-gel. Putra bungsu Raja Dalem Di Made sebagai penerus sah tahta kerajaan Bali bernama I Dewa Agung Jambe berada dalam wilayah penyingkiran di Desa Guliang. Setelah sekian lama menunggu waktu di wilayah penyingkiran, dengan dibantu oleh laskar Anglurah Sideman dari sisi Timur, juga oleh laskar I Gusti Panji Sakti dari sisi utara (Buleleng) serta dari arah Barat didukung oleh Kyai Jambe Pule (Badung), bahu-membahu menyerang Gel-gel untuk merebut kembali tampuk kekuasaan kepada garis keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan. Dalam pertempuran yang demikian hebat oleh prajurit-prajurit handal pada ke dua belah pihak, akhirnya kemenangan diperoleh oleh pasukan Ida Dewa Agung Jambe, dalam peperangan tersebut menjadikan runtuhnya kekuasaan Raja I Gusti Agung Meruti di Gelgel. Dalam situasi seperti itu secara otomatis seluruh perangkat struktur kerajaan I Gusti Agung Maruti yang masih hidup secara serentak menyelamatkan diri.

Kyayi Agung Dimade atau I Gusti Agung Maruti berputra empat orang, dua orang pria: I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti Agung Made Agung, dan dua orang wanita: I Gusti Agung Ayu Sasih kawin dengan seorang brahmana Geriya Kutuh Kamasan, adiknya ikut ke Jimbaran, bernama I Gusti Agung Ayu Ratih.

Ketika I Gusti Agung Meruti dalam perjalanan meninggalkan kota Gelgel menuju kearah Barat, maka perjalanan tersebut dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kekwatiran akan kejaran pihak lawan. I Gusti Agung Maruti saat melakukan perjalanan kearah barat di ikuti oleh Putra-putri beliau yakni I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti Agung Anom dan I Gusti Ayu Made Ratih bersama saudara tirinya; Bendesa Prawangsa, Bendesa Kedeh dan Bendesa Miber, demikian pula saudara sepupunya bernama I Gusti Agung Putu Kaler Pacekan dan panjak-panjak/rakyatnya yang setia dengan total jumlah berkisar 1200-1600 orang, menuju arah barat hingga tiba di wilayah Jimbaran .

Setelah cukup lama dalam perjalanan, maka pengungsian I Gusti Agung Meruti sampai di sebuah hutan di Desa Jimbaran.Di sana beliau disambut oleh lascar bersenjata dibawah pimpinan Ida Wayan Petung Gading yang pada saat itu menjadi penguasa di Desa Jimbaran, I Gusti Agung Meruti tidak mengadakan perlawanan serta memohon perlindungan kepada Ida Wayan Petung Gading. Setelah disampaikan kisah perjalanannya dari Gelgel sampai tiba di Jimbaran, akhirnya I Gusti Agung Meruti beserta rombongannya diterima dengan baik . Setelah saling mengenal muncul hubungan yang semakin akrab dan intim antara Ida Wayan Petung Gading dengan I Gusti Agung Meruti, sampai-sampai I Gusti Agung Meruti diangkat sebagai saudara oleh Ida Wayan Petung Gading. Sebagai tanda eratnya hubungan persaudaraan ini, maka I Gusti Agung Meruti menerima suatu pemberian yang sangat berharga, yakni seorang putri dari Ida Wayan Petung Gading yang bernama I Dewa Ayu Mas Jimbaran . Karena beliau sudah berusia lanjut, maka putri tersebut diserahkan kepada putra beliau yang tertua yaitu I Gusti Agung Putu Agung. Dari perkawinan I Gusti Agung Putu Agung dengan I Dewa Ayu Mas Jimbaran melahirkan seorang putra yang setelah dewasa di beri nama I Gusti Agung Gde Jimbaran.

Dengan diterimanya rombongan pengungsian keluarga I Gusti Agung Meruti bersama 1200-1600 orang pengikutnya di Jimbaran, sudah barang tentu segala pertanggungjawaban keamanan dan kelangsungan hidupnya menjadi tanggung jawab dari penguasa wilayah Jimbaran. Mulai saat itu dapatlah dimulai kehidupan rombongan pengungsian kembali kepada kehidupan baru, dengan mulainya dibuat sarana pawongan berupa tempat-tempat tinggal beserta kelengkapan parhyangannya sebagaimana yang ditunjukkan Ida Brahmana Wayan Petung Gading. Selama tinggal di Jimbaran, I Gusti Agung Maruti senantiasa mohon keselamatan di Pura Ulun Siwi.

Tidak berselang lama timbul permasalahan antara I Gusti Agung Meruti dengan I Gst Putu Kaler Pacekan. Atas usaha liciknya Kryan Kaler Pacekan berhasil membujuk rakyat I Gusti Agung Maruti untuk ikut bersamanya, dan berhasil mendapatkan keris Ki Sekar Gadhung dan Ki Panglipur. Atas kejadian itu IGusti Agung Meruti memutuskan untuk pergi meninggalkan Jimbaran menuju penguasa Badung Kiayi Tegeh Kori.

Sesampainya di Badung, beliau diterima oleh Kiayi Tegeh Kori, namun beliau dinasehati yakni sebaiknya agar beliau pergi ke Kapal saja, dan minta bantuan kepada Pangeran Kapal. Nasehat itu diterima oleh I Gusti Agung Meruti. Di samping itu agar tidak mengganggu perjalanan pengungsian, maka Kiayi Tegeh Kori menasehati agar istri dan putra I Gusti Agung Putu Agung yang masih kecil di biarkan tinggal di Badung. Nasehat ini diikuti oleh I Gusti Agung Putu Agung , lalu I Gusti Agung Gde Jimbaran dititipkan kepada Kiayi Tegeh Kori serta diasuh oleh ibunya I Dewa Ayu Mas Jimbaran. Setelah dewasa anak ini diberikan tempat oleh Kiayi Tegeh Kori di Lumintang yakni masih termasuk daerah kekuasaan Badung.


Babad Pratisentana Dalem Petak Jimbaran menceritakan juga terkait dengan I Gusti Agung Gde Jimbaran dengan ibunya I Dewa Ayu Mas Jimbaran , “Sebagaimana terungkap dalam penjelasan pada kisah kepergian I Gusti Agung Putu Agung dari Jimbaran ke Kapal dan akhirnya kembali lagi ke Jimbaran, tidak pernah termuatkan tentang certitera istri dan anaknya I Gusti Gd Jimbaran di daerah Lumintang, di wilayah pemberian dari penguasa Badung (Arya Tegeh Kori). Namun dalam kenyataannya kini kita temukan Pura Penyungsungan Dewa Ayu Mas Jimbaran, yang diempon oleh putra paperasan Ida. Juga keturunan dari I Gusti Gd Jimbaran ternyata ada di tempat lain yaitu di Penebel, Tabanan. Ini mengindikasikan bahwa putri dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading, yakni I Dewa Ayu Mas Jimbaran, kembali lagi ke Jimbaran (mulih Daha). Status hak mulih Daha adalah sah sebagai bahagian dari keluarga keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading “.
 

Tidak dikisahkan dalam perjalanan, sesampainya di Kapal maka Pangeran Kapal ( Arya Delancang ) menerima I Gusti Agung Maruti dengan senang hati, sehingga akhirnya beliau menghambakan diri di sana sebagaimana halnya leluhur beliau dulu yaitu Pangeran Made Asak.

Setelah beberapa lama I Gusti Agung Meruti bersama putra-putrinya mengabdi di Kapal, maka suatu saat timbul permusuhan antara Pengeran Kapal dengan Pangeran Buringkit, dimana kemarahan Pangeran Buringkit berawal dari kematian putrinya yang dipinang oleh Pangeran Kapal. Menurut cerita, maka saat putri Pangeran Buringkit sampai di kapal ternyata dikawinkan dengan seekor kuda kesayangan Pangeran Kapal, sehingga sang putri menemui ajalnya di kandang kuda. Hal ini dilakukan oleh Pangeran Kapal adalah untuk memenuhi kaulnya terhadap kuda kesayangan beliau yang sedang sakit, yakni jika kuda itu sembuh maka akan dipinangkan seorang putri.

Demikian besarnya kemarahan Pangeran Buringkit, sehingga terjadilah perang Kapal dengan Buringkit. Sudah barang tentu pada saat peperangan tersebut, Pangeran Kapal di bantu oleh I Gusti Agung Meruti dan putra-putranya . Menghadapi Pangeran Kapal dan I Gusti Agung ini ternyata Pangeran Buringkit menjadi takut dan mengundurkan diri.

Namun disisi lain, kekalahan pasukan Pangeran Buringkit, tidak menyurutkan upayanya meraih kemenangan. Dengan jalan mohon bantuan kepada I Gst Putu Kaler Pacekan yang saat itu masih tinggal di Jimbaran hal mana memiliki permasalahan dengan I Gusti Agung Maruti, dengan mengandalkan keris pusaka Ki Sekar Gadung, akhirnya peperangan dapat dimenangkan kembali oleh Pangeran Buringkit.

Atas kekalahan ini I Gusti Agung Maruti pergi meninggalkan Kapal kembali ke Jimbaran. Selama beberapa waktu bersemedi di Pura Dalem Balangan Jimbaran, akhirnya mendapatkan petunjuk untuk bersemedi di Pura Goa Gong. Dengan melakukan semedi di tempat tersebut I Gusti Agung Maruti mendapatkan sebuah Keris bernama Ki Bintang Kumukus. Dari sini pula didapatkan petunjuk untuk menuju suatu tempat di daerah timur yang terlihat seperti embun yang bersinar keemasan. Setelah ditelusuri ternyata embun bersinar keemasan itu bersumber pada sebuah bebaturan pelinggih yang berada di alas Gianyar. Di tempat itulah kemudian dibangun sebuah Pura yang kemudian diberinama Pura Mas Ceti. Sebagai tempat beristirahat kemudian beliau mendirikan sebuah rumah sederhana (kuwu). Sejak saat tersebut daerah sekitarnya kemudian diberinama Kuwumas, selanjutnya disebut Kuramas.

Dengan tersiarnya kabar I Gusti Agung Meruti mendapat panugrahan ini, kemudian I Gusti Agung Maruti kembali menyusun rencana penyerangan untuk membalas kekalahannya terhadap I Gusti Putu Kaler Pacekan. Dengan pertimbangan yang matang akhirnya diputuskanlah untuk kembali menyerang I Gusti Putu Kaler Pacekan ke Buringkit berbekalkan Keris Ki Bintang Kukus. Dalam penyerangan tersebut akhirnya I Gusti Putu Kaler Pacekan dapat dikalahkan dan gugur sebagai ksatria di Gunung Pegat. Putra-putranya dan pengikutnya menyelamatkan diri ke berbagai tempat. Atas kemenangan ini I Gusti Agung Maruti menjadi penguasa wilayah Kapal dan Buringkit dan menandai bangkitnya kembali trah Arya Kepakisan dalam kancah perpolitikan di Bali kala itu. Sadar akan kebangkitan itu tidak lepas dari bantuan secara sekala oleh Ida Brahmana Wayan Petung Gading, secara niskala adalah berkat dari  permohonannya di Pura Ulun Siwi dan Pura Dalem Balangan, Pura Goa Gong dan Pura Mas Ceti. Maka untuk selanjutnya kekuasaan di Kapal diserahkan kepada putra keduanya I Gst Agung Made Agung beserta keris pusaka Ki Sekar Gadung dan Ki Panglipur. Kemudian  I Gst. Agung Maruti beserta putranya I Gusti Agung Putu Agung dan putrinya I Gusti Agung Istri Ayu Made, meninggalkan Desa Kapal bersama pengikutnya yang masih setia menuju Desa Jimbaran.

Sekembalinya dari kemenangan di Kapal, muncullah niat I Gusti Agung Maruti untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada sekala dan niskala yang telah menganugerahi kesempatan hidup dan kemenangan yang membahagiakan. Sebagai implementasi dari bhisama kasemetonang dengan Ida Brahmana Wayan Petung Gading, dipugarlah Pura Ulun Siwi tempat beliau dahulunya selalu mohon keselamatan. Bersama dengan Ida Bhrahmana Wayan Petung Gading, Gedong Meru Tumpang Solas yang telah ada sebelumnya dibuat menjadi 2 rong. Satu rong sisi Utara sebagai stana leluhur dari I Gusti Agung Maruti, sedangkan rong sisi selatan sebagai stana leluhur dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading. (I Gusti Agung Maruti, leluhurnya adalah Raja Kediri). Uniknya dibuat menghadap ke Timur sehingga jika bersembahyang mesti menghadap ke Barat.

Setelah kegiatan itu I Gusti Agung Meruti memutuskan menempatkan Bendesa Miber yang lebih dikenal dengan sebutan Bendesa Salain untuk tetap tinggal di Jimbaran. Sedangkan Bendesa Kedeh dan Bendesa Prawangsa diajak bersama menuju Keramas. Dengan demikian yang masih tinggal di Puri Pesalakan Jimbaran selain Keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading juga keturunan I Gst Miber yakni Bendesa Miber/Bendesa Salain. Bendesa Salain diserahi tugas untuk merawat merajan yang telah dibangun di Puri Jimbaran dan pura Ulun Siwi. Juga tidak diperkenankan melupakan Pura Dalem Balangan.

Seperti telah dibahas di muka, bahwa I Gusti Agung Made Agung telah diangkat untuk memimpin daerah Kapal dan Buringkit, dengan pusat pemerintahan di Puri bekas kediaman Pangeran Kapal atau Arya Delancang.

I Gusti Agung Made Agung beristerikan Ni Gusti Luh Bengkel, puteri dari Kryan Bebengan, menurunkan putera satu – satunya bernama I Gusti Agung Putu. Puteranya adalah hasil dari permohonan I Gusti Agung Made Agung bersama isterinya di Pura Sada, yaitu anugerah dari Bhatara Hanandharu. Setelah I Gusti Agung Made Agung wafat, digantikan oleh putera beliau I Gusti Agung Putu.

Dalam kisah selanjutnya, I Gusti Agung Putu sempat dikalahkan dalam sebuah peperangan ketika menghadapi I Gusti Batu Tumpeng yang tinggal di desa kekeran.
I Gusti Agung Putu sempat di tawan dan di serahkan kepada penguasa di Tabanan. Namun tidak lama kemudian, I Gusti Agung Putu di serahkan kepada penguasa di Marga.
Dengan segala suka duka dan romantika kehidupannya, kemudian I Gusti Agung Putu berhasil kembali bangkit dan menundukan satu demi satu wilayah yang sempat pernah dikuasai sebelum kekalahannya melawan I Gusti Batu Tumpeng.

Bahkan perang tanding melawan Pasek Badak dari Buduk dengan mempertaruhkan negerinya dan rakyatnya masing-masing sempat dimenangkan I Gusti Agung Putu.
Begitu luasnya kekuasaan beliau ( sampai ke Blambangan Jawa Timur ), lalu beliau di beri gelar I Gusti Agung Ngurah Agung Bima Sakti ( Cokorda Sakti Blambangan ) dan dinobatkan sebagai Raja Mengwi.

Pada suatu ketika terjadi perselisihan antara Raja Tabanan dengan saudaranya di Penebel. Perselisihan mereka sangat mendalam sampai menjerumuskan mereka kedalam perang saudara. Mereka berperang sangat lama sampai berbulan-bulanan, tidak ada yang kalah atau menang. Dalam situasi demikian Penguasa Tabanan lalu dating ke Mengwi untuk minta bantuan I Gusti Agung Putu. Raja Mengwi menyanggupi untuk membantu peperangan Raja Tabanan melawan Penebel, dengan syarat bila I Gusti Ngurah Ubung Raja Penebel dapat dituntukkan agar Desa Marga diserahkan ke Mengwi, karena Marga sangat berjasa kepada I Gusti Agung Putu, sampai mendapatkan kekuasaan dan kedudukan seperti sekarang ini. Syarat tersebut diterima baik oleh I Gusti Ngurah Tabanan. Setelah selesai membuat perjanjian, lalu I Gusti Agung Putu bersiap-siap memimpin lascar Mengwi menyerang Penebel dari arah Timur/Selatan.

Diantara lascar yang terpilih turut juga I Gusti Gde Ngurah Kandel dalam penyerangan tersebut, beliau ini adalah cucu dari I Gusti Agung Gde Jimbaran , yang dahulu pada saat I Gusti Agung Maruti menuju Pangeran Kapal dititipkan di Badung pada Kiayi Tegeh Kori, dan setelah dewasa diberikan tempat di Desa Lumintang ( Badung ). 

Di Lumintang I Gusti Agung Gde Jimbaran berputra dua orang, I Gusti Gde Petandekan dan I Gusti Gde Karang. I Gusti Gde Petandekan berputra I Gusti Gde Ngurah Kandel dan I Gusti Gde Karang berputa I Gusti Luh Jembung ( putung ) . Pada waktu masih menetap di Lumintang I Gusti Gde Ngurah Kandel berselisih dengan pamannya I Gusti Gde Karang, yang menyebabkan I Gusti Gde Ngurah Kandel meninggalkan Desa Lumintang, dengan berbekal dua pusaka keris Ki Tinjak Lesung dan  keris Ki Bugbug , I Gusti Gde Ngurah Kandel menghamba di Puri Mengwi. Demikianlah kisah penghambaan I Gusti Gde Ngurah Kandel, dan pada penyerangan Mengwi ke Penebel ikut memperkuat barisan lascar Mengwi.

Tidak dikisahkan ramainya peperangan Tabanan melawan Penebel, dari mulai awal sampai selesai perang menelan waktu tidak kurang dari tiga tahun. Dengan tewasnya I Gusti Ngurah Ubung ( Penguasa Penebel ) , maka tunduklah rakyat Penebel kepada Raja Tabanan ( 1820 ) . Sesuai dengan perjanjian Desa Marga diserahkan menjadi kekuasaan Mengwi, selain itu 40 buah tombak, sepucuk bedil yang bernama Ki Batan Tunjung, 2 buah tabuh ( kulkul ) bernama Ki Janghal dan Ki Macan dibawa ke Mengwi. Menurut Babad Tabanan I Gusti Agung Putu juga mendapat seorang Putri cantik yang bernama I Gusti Luh Made Layar putri Ki Gusti Asem dari Jero Aseman.

Selesai perang I Gusti Gde Ngurah Kandel memohon kepada Penguasa Tabanan agar diijinkan menetap di Penebel, dan oleh Raja Tabanan ( I Gusti Ngurah Agung ) diberikan tempat disebelah Selatan bekas kediaman Penguasa Penebel yang lalu dan juga di berikan hadiah sebilah keris yang diberi nama Ki Nebelan. Disana I Gusti Gde Ngurah Kandel membuat rumah yang disebut Jero Kepakisan dan menetap sampai sekarang.


Daftar Pustaka :
1. Buku Babad Shri Nararya Kresna Kepakisan, oleh Pengurus Pusat Pasemetonan Pratisentana Shri Nararya Kresna Kepakisan 2002.
2. Babad Pratisentana Dalem Petak Jimbaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar