Selasa, 26 Maret 2019

Tugu Prasasti Sri Dharma Wangsa di Desa Pakis Jawa Timur

Alkisah,lahir sorang anak keturunan raja agung Tanah Jawa, oleh SRI MANU MANASA -sang ayah-diberikan nama Sri Dharma Wangsa.

Sang anak tumbuh besar dalam suatu lingkungan masyarakat jawa berbudi luhur yang tertata rapi system sosialnya. Masyarakat yang akrab dengan alam subur tanah jawa.
Tanah itu adalah Medang Kemulan, bagian timur pulau dengan seribu gunung, pulau Jawa. Sang Ayah, merupakan raja dan panutan masyarakatnya.

Mewarisi kearifan sang ayah dan leluhurnya, Sri Dharma Wangsa memerintah medang kemulan dan memperistri Sri dewi Makuta dharma wardani, salah seorang cicit dari Raja Sendok di Watu Galuh.
Karena kearifannya juga, Sri Dharma Wangsa menjadi pemimpin wilayah yang luas, sehingga ibukota kerajaannya dipindahkan ke Watan, di kaki gunung penanggungan (sebelah selatan sidoarjo).
Dari Watan, beliau mengembangkan kerajaannya dengan banyak perhatian kepada kebudayaan masyarakatnya, termasuk pengadaan 9 parwa Maha Bharata yang dirangkum dari 18 parwa sebagai salah satu sumber ilmu kemasyarakatan dan pemerintahan.
Beliau juga membangun banyak candi, termasuk pura besakih yang dilaksanakan oleh Sri Udayana Warma dewa.

Sri Dharma wangsa mempunyai 2 orang anak, seorang putra bernama Sri Kameswara dan seorang putri bernama Diah Kili suci,Putri ini dipersunting oleh Sri Airlangga, yang bersama-sama melanjutkan pemerintahan dan akhirnya menurunkan keluarga Arya Kresna Kepakisan sebagai salah satu keturunannya di Bali dan lebih banyak lagi keturunannya yang tinggal di Jawa, di tanah leluhurnya.

SHRI NARARYA KRESHNA KEPAKISAN, adalah persatuan persaudaraan satu keturunan, satu pura kawitan, satu pedharman, satu babad yang sebagian ada di Bali yang bertugas berat untuk mengayomi anggota persaudaraan dalam melaksanakan Bhakti kepada Tuhan - Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga dalam menghirmati lelehur.

Dalam lingkup tugas itu pula, pesemetonan mengingatkan arti penting sejarah sebagaimana juga pentingnya menyikapi masa depan dalam suatu visi mulia bersama.
Semoga selalu berada dalam lindungan berkah dan kasih Tuhan,
Dengan menyebut nama besarNya dilandasi niat baik, kami memberanikan diri mengajukan permohonan permintaan ijin untuk mendirikan tugu prasasti untuk memuliakan leluhur dan mengingatkan tanah lahir leluhur kami.

Kami sebagai warga pesemetonan Sri Nararya Kresna Kepakisan di Bali, memahami sekali arti penting keterikatan kepada sejarah--bahwa leluhur kami berasal dari tanah Jawa–dan menyadari perlunya ikatan bathin dengan bumi dan masyarakat di tanah leluhur.
Penghormatan terhadap leluhur adalah salah satu dasar kepercayaan kami,demikian juga dengan membina hubungan baik antara sesama manusia.

Atas dasar itu pula, dengan tidak menyampingkan rasa hormat terhadap masyarakat sekitar, kami bermaksud untuk mendirikan tugu prasasti bagi Raja Agung Sri Dharma Wangsa sebagai salah satu leluhur yang berjasa penting bagi perkembangan anak keturunan kami baik masa lalu maupun masa yang akan datang.

Semoga permohonan kami ini mendapatkan sambutan yang baik seiring dengan hati bersih memuliakan sejarah kita bersama.

Semoga pendahuluan ini bisa menciptakan kedamaian di hati pembacanya, kedamaian di dunia, dan damai selalu.

Sumber : https://srinararyakresnakepakisan.wordpress.com

BABAD SHRI NARARYA KRESNA KEPAKISAN



Shri Nararya Kepakisan adalah salah satu nama klen atau keturunan keluarga yang berada di Bali. Semua keturunan dari Shri Nararya Kresna Kepakisan ini menyebar di seluruh Kabupaten dan Kota di Bali. Seluruh Prati Sentara atau keturunan dari Shri Nararya Kresna Kepakisan bersatu dan mendirikan sebuah pura Dalem Agung Kawitan yang terletak di, Banjar Dukuh, Gelgel, Kabupaten Klungkung. Di pura yang memiliki hari piodalan pada Saniscara, Kuningan inilah seluruh pratisentana Shri Nararya Kresna Kepakisan berkumpul dan mengetahui babad dan asal mula keberadaan leluhur mereka. Berdasarkan hasil seminar Lelintihan Pasemetonan Pratisentana Shri Nararya Kresna Kepakisan di Hotel Dwi Karya Denpasar pada tanggal 10 – 11 Februari 2001 maka disusunlah sebuah babad dalam sebuah buku yang dicetak sebagai informasi mengenai asal mula keberadaan keturunan Shri Nararya Kresna Kepakisan di Bali.

Shri Nararya Kresna Kepakisan adalah seorang patih pertama di Bali setelah Bali dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Shri Nararya Kresna Kepakisan yang memiliki nama asli Shri Sastrajaya datang ke Bali pada tahun 1352 masehi atau 1274 saka. Berikut adalah kutipan isi buku babad Shri Nararya Kresna Kepakisan 32a yaitu :
Hana wit asodara, ngka hana hulun praya inutus sutanira Dangiang Kepakisan dhatengeng Bali, tar waneh sira suta kacatur dane Mpu Tantular, nga, Mpu Angsoka Natha, wit sangkyeng Brahma Wangsa, samangkana hatur inghulun paduka hyang prabhu. Apa matangnia sira Ki Patih Gajah Maddha inutus Dangiang Kepakisan mungsya Bali, pan sira mula wit purohitania. Wantunen mwah katha samangke, hana sira Dangiang Kepakisan ngarania, panditha paramartha sira, sira kanggeh sudhamaninira Liman Maddha, aputra pwa wijileng sela, riwolihira surya sewana, stulanira mpu tapsari, yata kanggeh stri denira, aputra catur diri, jalu trini, stri sawiji, yata tinur dera Maddha anakradhala, tinda dera sang kanggeh prameswara bija, …..
Artinya :
Ada hubungan persaudaraan, keinginan hamba untuk mengutus putra Dangiang Kepakisan datang ke Bali yang merupakan putra ke empat dari Mpu Tantular berasal dari Brahma Wangsa, demikian hatur hamba sang prabu. Apa sebabnya Ki Patih Gajah Maddha mengusulkan mengutus Dangiang Kepakisan datang ke Bali karena beliau sesungguhnya adalah guru kerohaniannya. Tersebutlah sekarang Dangiang Kepakisan namanya seorang panditha paramartha (paramartha=kebenaran sempurna) dan juga guru kerohaniannya patih Gajah Maddha, Dangiang Kepakisan berputra empat orang yang diperoleh dari melakukan surya sewana pada sebuah batu yang konon sebuah bidadari yang terkena kutukan, itulah dianggap sebagai istrinya. Putra beliau tiga laki-laki dan seorang perempuan, keempat itulah yang ditugasi oleh Ki Patih Gajah Maddha sebagai penguasa wilayah yang dianggap sebagai anaknya,


Dalam kutipan babad tersebut diceritakan Patih Gajah Mada memohon kepada Tribuanatunggadewi yang sebagai raja Majapahit pada waktu itu, agar memerintahkan putra Dangiang Kepakisan agar datang ke Bali untuk mengamankan keadaan pulau Bali. Kondisi pulau Bali pada saat itu masih kacau karena masyarakat bali terus saja memberontak para prajurit majapahit yang telah berhasil menaklukkan Bali. Raja Bali pada saat itu yaitu Dalem Bedahulu dengan patihnya Ki Pasung Grigis dan Kebo iwa telah dikalahkan oleh kerajaan Majapahit. Raja yang telah terbunuh dan patih Pasung Grigis ditahan ke Majapahit. Bali yang telah menjadi kekuasaan kerajaan Majapahit tidak ada yang memerintah, maka diutuslah putra ke empat Dangiang Kepakisan untuk mengatur pemerintahan di Bali yang dikenal dengan nama Dalem Ketut Shri Kresna Kepakisan.
Berikut juga kutipan dari buku babad Shri Nararya Kresna Kepakisan 32b yaitu :
Sang matuha andriyeng Blambangan, sang ari sumendi ing Pasuruan, sang raja putri ngka haneng Sumbawa, sang kapitut i wekas sira sinuruh ing Bali Aga, ngka sira Ki Patih Gajah Maddha uminta rikahananira Dangiang Kepakisan, matemahan tar piwal sira Dangiang, maluy sutanira kacatur ika ginentosaken wangsania, sakeng Brahmana mangdadya Ksatria, ri sampun pinula pali, sigra sutanira ika lumayat mungsya lungguhira swang. Ri saka 1274 duking mangkana sira Ki Patih Gajah Maddha, angutus sira sutanira Aryeng Kedhiri, nga, Shri Sastrajaya cicitira Shri Jayasabha dhatengeng Bangsul, ri sampun hana haneng Bali, kadinatah sira inaranan Shri Nararya Kresna Kepakisan, kang umadeg patih agung. Wasitenen mangke sira kang umadeg Adhipati mwang patih agung mula wit sangkyeng pradesa Pakis….
Artinya :
Yang paling tua di Blambangan, adiknya di Pasuruan, sang Raja Putri di Sumbawa dan yang paling kecil di Pulau Bali. Untuk itu Ki Patih Gajah Maddha memohon ketulusan dan sih dari Dangiang Kepakisan, atas permintaan Ki Patih Gajah Maddha yang demikian itu beliau Dangiang Kepakisan mengabulinya, karena kesepakatan telah tercapai maka keempat putranya itu diubah status warnanya (wangsanya) dari wangsa Brahmana menjadi wangsa Kesatria dan setelah diupacarai sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku, maka segera keempatputra Dangiang Kepakisan itu menuju wilayah kekuasaannya seperti tersebut diatas. Selanjutnya pada tahun saka 1274 (tahun 1352 masehi) Ki Patih Gajah Maddha mengutus putra Aryeng Kediri atau Shri Sastrajaya yaitu cucu dari Jayasabha datang ke pulau Bali. Setelah Shri Sastrajaya ada di pulau Bali lebih dikenal dengan sebutan Shri Nararya Kresna Kepakisan yang selanjutnya berkedudukan sebagai patih agung. Tersebut yang menjadi adipati dan patih agung berasal dari desa pakis.

Dalam kutipan buku babad diatas, menerangkan bahwa setelah Dangiang Kepakisan yang sebagai guru kerohanian raja Majapahit dan juga guru kerohanian Patih Gajah Maddha menyetujui keempat anaknya menduduki beberapa daerah kekuasaan kerajaan Majapahit, maka keempat anaknya tersebut diganti wangsanya dari Brahmana menjadi Kesatriya. Anak Dangiang Kepakisan yang keempat ditugaskan di Bali yang dikenal dengan gelar Dalem Ketut Kresna kepakisan dan pada tahun 1352 masehi Shri Sastrajaya ditugaskan oleh Patih Gajah Maddha sebagai patih agung mendampingi Dalem Ketut Shri Kresna Kepakisan. Sejak itulah Shri Nararya Kresna Kepakisan berada di Bali dan meneruskan keturunannya di Bali.
Berikut juga kutipan buku babad 33a yaitu :
Kathakna mangke duk unikala, ri pantaraning saka warsha 1274, adhipati Bali Pulina, kang abhiseka Dalem Ketut Shri Kreshna Kepakisan, sira mundering Bali Pulina, kang kinabih de sira Shri Nararya Kresna Kepakisan, kang karatonira ngka haneng Samprangan. Tar simpang sira dening bhusananing kaprabon mwang sikep kadga Ki Ganja Dungkul, nga, Si Jangkung Mungilo mwang karatala, nga, Si Olang Guguh. Caritanen mangke sira Shri Nararya Kresna Kepakisan unggwanira haneng pradesa Nyuhaya papareng lawan arya Wangbang Pinatih kang madeg Dhemung. Ri sandakala Dhalem Ketut Shri Kresna Kepakisan, maka catranikang bhuwana Bali, sira kinabih dening pararya,
Artinya :
Dijaman dahulu yaitu tepatnya pada tahun saka 1274 (tahun 1352 masehi) Adhipati Bali yang bergelar Dalem Ketut Shri Kresna Kepakisan sebagai penguasa Bali dengan keratonnya di Samprangan yang didampingi oleh patih agungnya yaitu Shri Nararya Kresna Kepakisan. Dengan perlengkapan bhusana kebesaran kerajaan serta pajenengan berupa keris Ganja Dungkul yaitu Si Jangkung Mangilo dan sebuah tombak Si Olang Guguh. Shri Nararya Kresna Kepakisan tinggal di daerah Nyuhaaya bersama dengan arya Wang Bang Pinatih yang berkedudukan sebagai Dhemung (jabatan setingkat mentri), tatkala beliau Dalem Ketut Shri Kresna Kepakisan sebagai penguasa Bali Beliau juga dibantu oleh para arya dalam menjalankan pemerintahannya.
Demikian kutipan beberapa teks dari buku babad Shri Nararya Kresna Kepakisan yang menjadi dasar pedoman keberadaan keturunan Shri Nararya Kresna Kepakisan yang berada di Bali. Semoga keterangan ini dapat memberikan kemantapan pada semua preti sentana atau keturunan Shri Nararya Kresna Kepakisan dan mengetahui asal mula keberadaan leluhur kita.

Daftar Pustaka : Buku Babad Shri Nararya Kresna Kepakisan, oleh Pengurus Pusat Pasemetonan Pratisentana Shri Nararya Kresna Kepakisan 2007

Senin, 25 Maret 2019

Babad Jero Kepakisan Penebel


Diceritakan hingga pada tahun 1677 M (Caka 1599),  I Gusti Agung Maruti keturunan  Arya Kepakisan ( Shri Nararya Kreshna Kepakisan ) telah ± 26 tahun menduduki tahta kerajaan Gel-gel. Putra bungsu Raja Dalem Di Made sebagai penerus sah tahta kerajaan Bali bernama I Dewa Agung Jambe berada dalam wilayah penyingkiran di Desa Guliang. Setelah sekian lama menunggu waktu di wilayah penyingkiran, dengan dibantu oleh laskar Anglurah Sideman dari sisi Timur, juga oleh laskar I Gusti Panji Sakti dari sisi utara (Buleleng) serta dari arah Barat didukung oleh Kyai Jambe Pule (Badung), bahu-membahu menyerang Gel-gel untuk merebut kembali tampuk kekuasaan kepada garis keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan. Dalam pertempuran yang demikian hebat oleh prajurit-prajurit handal pada ke dua belah pihak, akhirnya kemenangan diperoleh oleh pasukan Ida Dewa Agung Jambe, dalam peperangan tersebut menjadikan runtuhnya kekuasaan Raja I Gusti Agung Meruti di Gelgel. Dalam situasi seperti itu secara otomatis seluruh perangkat struktur kerajaan I Gusti Agung Maruti yang masih hidup secara serentak menyelamatkan diri.

Kyayi Agung Dimade atau I Gusti Agung Maruti berputra empat orang, dua orang pria: I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti Agung Made Agung, dan dua orang wanita: I Gusti Agung Ayu Sasih kawin dengan seorang brahmana Geriya Kutuh Kamasan, adiknya ikut ke Jimbaran, bernama I Gusti Agung Ayu Ratih.

Ketika I Gusti Agung Meruti dalam perjalanan meninggalkan kota Gelgel menuju kearah Barat, maka perjalanan tersebut dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kekwatiran akan kejaran pihak lawan. I Gusti Agung Maruti saat melakukan perjalanan kearah barat di ikuti oleh Putra-putri beliau yakni I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti Agung Anom dan I Gusti Ayu Made Ratih bersama saudara tirinya; Bendesa Prawangsa, Bendesa Kedeh dan Bendesa Miber, demikian pula saudara sepupunya bernama I Gusti Agung Putu Kaler Pacekan dan panjak-panjak/rakyatnya yang setia dengan total jumlah berkisar 1200-1600 orang, menuju arah barat hingga tiba di wilayah Jimbaran .

Setelah cukup lama dalam perjalanan, maka pengungsian I Gusti Agung Meruti sampai di sebuah hutan di Desa Jimbaran.Di sana beliau disambut oleh lascar bersenjata dibawah pimpinan Ida Wayan Petung Gading yang pada saat itu menjadi penguasa di Desa Jimbaran, I Gusti Agung Meruti tidak mengadakan perlawanan serta memohon perlindungan kepada Ida Wayan Petung Gading. Setelah disampaikan kisah perjalanannya dari Gelgel sampai tiba di Jimbaran, akhirnya I Gusti Agung Meruti beserta rombongannya diterima dengan baik . Setelah saling mengenal muncul hubungan yang semakin akrab dan intim antara Ida Wayan Petung Gading dengan I Gusti Agung Meruti, sampai-sampai I Gusti Agung Meruti diangkat sebagai saudara oleh Ida Wayan Petung Gading. Sebagai tanda eratnya hubungan persaudaraan ini, maka I Gusti Agung Meruti menerima suatu pemberian yang sangat berharga, yakni seorang putri dari Ida Wayan Petung Gading yang bernama I Dewa Ayu Mas Jimbaran . Karena beliau sudah berusia lanjut, maka putri tersebut diserahkan kepada putra beliau yang tertua yaitu I Gusti Agung Putu Agung. Dari perkawinan I Gusti Agung Putu Agung dengan I Dewa Ayu Mas Jimbaran melahirkan seorang putra yang setelah dewasa di beri nama I Gusti Agung Gde Jimbaran.

Dengan diterimanya rombongan pengungsian keluarga I Gusti Agung Meruti bersama 1200-1600 orang pengikutnya di Jimbaran, sudah barang tentu segala pertanggungjawaban keamanan dan kelangsungan hidupnya menjadi tanggung jawab dari penguasa wilayah Jimbaran. Mulai saat itu dapatlah dimulai kehidupan rombongan pengungsian kembali kepada kehidupan baru, dengan mulainya dibuat sarana pawongan berupa tempat-tempat tinggal beserta kelengkapan parhyangannya sebagaimana yang ditunjukkan Ida Brahmana Wayan Petung Gading. Selama tinggal di Jimbaran, I Gusti Agung Maruti senantiasa mohon keselamatan di Pura Ulun Siwi.

Tidak berselang lama timbul permasalahan antara I Gusti Agung Meruti dengan I Gst Putu Kaler Pacekan. Atas usaha liciknya Kryan Kaler Pacekan berhasil membujuk rakyat I Gusti Agung Maruti untuk ikut bersamanya, dan berhasil mendapatkan keris Ki Sekar Gadhung dan Ki Panglipur. Atas kejadian itu IGusti Agung Meruti memutuskan untuk pergi meninggalkan Jimbaran menuju penguasa Badung Kiayi Tegeh Kori.

Sesampainya di Badung, beliau diterima oleh Kiayi Tegeh Kori, namun beliau dinasehati yakni sebaiknya agar beliau pergi ke Kapal saja, dan minta bantuan kepada Pangeran Kapal. Nasehat itu diterima oleh I Gusti Agung Meruti. Di samping itu agar tidak mengganggu perjalanan pengungsian, maka Kiayi Tegeh Kori menasehati agar istri dan putra I Gusti Agung Putu Agung yang masih kecil di biarkan tinggal di Badung. Nasehat ini diikuti oleh I Gusti Agung Putu Agung , lalu I Gusti Agung Gde Jimbaran dititipkan kepada Kiayi Tegeh Kori serta diasuh oleh ibunya I Dewa Ayu Mas Jimbaran. Setelah dewasa anak ini diberikan tempat oleh Kiayi Tegeh Kori di Lumintang yakni masih termasuk daerah kekuasaan Badung.


Babad Pratisentana Dalem Petak Jimbaran menceritakan juga terkait dengan I Gusti Agung Gde Jimbaran dengan ibunya I Dewa Ayu Mas Jimbaran , “Sebagaimana terungkap dalam penjelasan pada kisah kepergian I Gusti Agung Putu Agung dari Jimbaran ke Kapal dan akhirnya kembali lagi ke Jimbaran, tidak pernah termuatkan tentang certitera istri dan anaknya I Gusti Gd Jimbaran di daerah Lumintang, di wilayah pemberian dari penguasa Badung (Arya Tegeh Kori). Namun dalam kenyataannya kini kita temukan Pura Penyungsungan Dewa Ayu Mas Jimbaran, yang diempon oleh putra paperasan Ida. Juga keturunan dari I Gusti Gd Jimbaran ternyata ada di tempat lain yaitu di Penebel, Tabanan. Ini mengindikasikan bahwa putri dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading, yakni I Dewa Ayu Mas Jimbaran, kembali lagi ke Jimbaran (mulih Daha). Status hak mulih Daha adalah sah sebagai bahagian dari keluarga keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading “.
 

Tidak dikisahkan dalam perjalanan, sesampainya di Kapal maka Pangeran Kapal ( Arya Delancang ) menerima I Gusti Agung Maruti dengan senang hati, sehingga akhirnya beliau menghambakan diri di sana sebagaimana halnya leluhur beliau dulu yaitu Pangeran Made Asak.

Setelah beberapa lama I Gusti Agung Meruti bersama putra-putrinya mengabdi di Kapal, maka suatu saat timbul permusuhan antara Pengeran Kapal dengan Pangeran Buringkit, dimana kemarahan Pangeran Buringkit berawal dari kematian putrinya yang dipinang oleh Pangeran Kapal. Menurut cerita, maka saat putri Pangeran Buringkit sampai di kapal ternyata dikawinkan dengan seekor kuda kesayangan Pangeran Kapal, sehingga sang putri menemui ajalnya di kandang kuda. Hal ini dilakukan oleh Pangeran Kapal adalah untuk memenuhi kaulnya terhadap kuda kesayangan beliau yang sedang sakit, yakni jika kuda itu sembuh maka akan dipinangkan seorang putri.

Demikian besarnya kemarahan Pangeran Buringkit, sehingga terjadilah perang Kapal dengan Buringkit. Sudah barang tentu pada saat peperangan tersebut, Pangeran Kapal di bantu oleh I Gusti Agung Meruti dan putra-putranya . Menghadapi Pangeran Kapal dan I Gusti Agung ini ternyata Pangeran Buringkit menjadi takut dan mengundurkan diri.

Namun disisi lain, kekalahan pasukan Pangeran Buringkit, tidak menyurutkan upayanya meraih kemenangan. Dengan jalan mohon bantuan kepada I Gst Putu Kaler Pacekan yang saat itu masih tinggal di Jimbaran hal mana memiliki permasalahan dengan I Gusti Agung Maruti, dengan mengandalkan keris pusaka Ki Sekar Gadung, akhirnya peperangan dapat dimenangkan kembali oleh Pangeran Buringkit.

Atas kekalahan ini I Gusti Agung Maruti pergi meninggalkan Kapal kembali ke Jimbaran. Selama beberapa waktu bersemedi di Pura Dalem Balangan Jimbaran, akhirnya mendapatkan petunjuk untuk bersemedi di Pura Goa Gong. Dengan melakukan semedi di tempat tersebut I Gusti Agung Maruti mendapatkan sebuah Keris bernama Ki Bintang Kumukus. Dari sini pula didapatkan petunjuk untuk menuju suatu tempat di daerah timur yang terlihat seperti embun yang bersinar keemasan. Setelah ditelusuri ternyata embun bersinar keemasan itu bersumber pada sebuah bebaturan pelinggih yang berada di alas Gianyar. Di tempat itulah kemudian dibangun sebuah Pura yang kemudian diberinama Pura Mas Ceti. Sebagai tempat beristirahat kemudian beliau mendirikan sebuah rumah sederhana (kuwu). Sejak saat tersebut daerah sekitarnya kemudian diberinama Kuwumas, selanjutnya disebut Kuramas.

Dengan tersiarnya kabar I Gusti Agung Meruti mendapat panugrahan ini, kemudian I Gusti Agung Maruti kembali menyusun rencana penyerangan untuk membalas kekalahannya terhadap I Gusti Putu Kaler Pacekan. Dengan pertimbangan yang matang akhirnya diputuskanlah untuk kembali menyerang I Gusti Putu Kaler Pacekan ke Buringkit berbekalkan Keris Ki Bintang Kukus. Dalam penyerangan tersebut akhirnya I Gusti Putu Kaler Pacekan dapat dikalahkan dan gugur sebagai ksatria di Gunung Pegat. Putra-putranya dan pengikutnya menyelamatkan diri ke berbagai tempat. Atas kemenangan ini I Gusti Agung Maruti menjadi penguasa wilayah Kapal dan Buringkit dan menandai bangkitnya kembali trah Arya Kepakisan dalam kancah perpolitikan di Bali kala itu. Sadar akan kebangkitan itu tidak lepas dari bantuan secara sekala oleh Ida Brahmana Wayan Petung Gading, secara niskala adalah berkat dari  permohonannya di Pura Ulun Siwi dan Pura Dalem Balangan, Pura Goa Gong dan Pura Mas Ceti. Maka untuk selanjutnya kekuasaan di Kapal diserahkan kepada putra keduanya I Gst Agung Made Agung beserta keris pusaka Ki Sekar Gadung dan Ki Panglipur. Kemudian  I Gst. Agung Maruti beserta putranya I Gusti Agung Putu Agung dan putrinya I Gusti Agung Istri Ayu Made, meninggalkan Desa Kapal bersama pengikutnya yang masih setia menuju Desa Jimbaran.

Sekembalinya dari kemenangan di Kapal, muncullah niat I Gusti Agung Maruti untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada sekala dan niskala yang telah menganugerahi kesempatan hidup dan kemenangan yang membahagiakan. Sebagai implementasi dari bhisama kasemetonang dengan Ida Brahmana Wayan Petung Gading, dipugarlah Pura Ulun Siwi tempat beliau dahulunya selalu mohon keselamatan. Bersama dengan Ida Bhrahmana Wayan Petung Gading, Gedong Meru Tumpang Solas yang telah ada sebelumnya dibuat menjadi 2 rong. Satu rong sisi Utara sebagai stana leluhur dari I Gusti Agung Maruti, sedangkan rong sisi selatan sebagai stana leluhur dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading. (I Gusti Agung Maruti, leluhurnya adalah Raja Kediri). Uniknya dibuat menghadap ke Timur sehingga jika bersembahyang mesti menghadap ke Barat.

Setelah kegiatan itu I Gusti Agung Meruti memutuskan menempatkan Bendesa Miber yang lebih dikenal dengan sebutan Bendesa Salain untuk tetap tinggal di Jimbaran. Sedangkan Bendesa Kedeh dan Bendesa Prawangsa diajak bersama menuju Keramas. Dengan demikian yang masih tinggal di Puri Pesalakan Jimbaran selain Keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading juga keturunan I Gst Miber yakni Bendesa Miber/Bendesa Salain. Bendesa Salain diserahi tugas untuk merawat merajan yang telah dibangun di Puri Jimbaran dan pura Ulun Siwi. Juga tidak diperkenankan melupakan Pura Dalem Balangan.

Seperti telah dibahas di muka, bahwa I Gusti Agung Made Agung telah diangkat untuk memimpin daerah Kapal dan Buringkit, dengan pusat pemerintahan di Puri bekas kediaman Pangeran Kapal atau Arya Delancang.

I Gusti Agung Made Agung beristerikan Ni Gusti Luh Bengkel, puteri dari Kryan Bebengan, menurunkan putera satu – satunya bernama I Gusti Agung Putu. Puteranya adalah hasil dari permohonan I Gusti Agung Made Agung bersama isterinya di Pura Sada, yaitu anugerah dari Bhatara Hanandharu. Setelah I Gusti Agung Made Agung wafat, digantikan oleh putera beliau I Gusti Agung Putu.

Dalam kisah selanjutnya, I Gusti Agung Putu sempat dikalahkan dalam sebuah peperangan ketika menghadapi I Gusti Batu Tumpeng yang tinggal di desa kekeran.
I Gusti Agung Putu sempat di tawan dan di serahkan kepada penguasa di Tabanan. Namun tidak lama kemudian, I Gusti Agung Putu di serahkan kepada penguasa di Marga.
Dengan segala suka duka dan romantika kehidupannya, kemudian I Gusti Agung Putu berhasil kembali bangkit dan menundukan satu demi satu wilayah yang sempat pernah dikuasai sebelum kekalahannya melawan I Gusti Batu Tumpeng.

Bahkan perang tanding melawan Pasek Badak dari Buduk dengan mempertaruhkan negerinya dan rakyatnya masing-masing sempat dimenangkan I Gusti Agung Putu.
Begitu luasnya kekuasaan beliau ( sampai ke Blambangan Jawa Timur ), lalu beliau di beri gelar I Gusti Agung Ngurah Agung Bima Sakti ( Cokorda Sakti Blambangan ) dan dinobatkan sebagai Raja Mengwi.

Pada suatu ketika terjadi perselisihan antara Raja Tabanan dengan saudaranya di Penebel. Perselisihan mereka sangat mendalam sampai menjerumuskan mereka kedalam perang saudara. Mereka berperang sangat lama sampai berbulan-bulanan, tidak ada yang kalah atau menang. Dalam situasi demikian Penguasa Tabanan lalu dating ke Mengwi untuk minta bantuan I Gusti Agung Putu. Raja Mengwi menyanggupi untuk membantu peperangan Raja Tabanan melawan Penebel, dengan syarat bila I Gusti Ngurah Ubung Raja Penebel dapat dituntukkan agar Desa Marga diserahkan ke Mengwi, karena Marga sangat berjasa kepada I Gusti Agung Putu, sampai mendapatkan kekuasaan dan kedudukan seperti sekarang ini. Syarat tersebut diterima baik oleh I Gusti Ngurah Tabanan. Setelah selesai membuat perjanjian, lalu I Gusti Agung Putu bersiap-siap memimpin lascar Mengwi menyerang Penebel dari arah Timur/Selatan.

Diantara lascar yang terpilih turut juga I Gusti Gde Ngurah Kandel dalam penyerangan tersebut, beliau ini adalah cucu dari I Gusti Agung Gde Jimbaran , yang dahulu pada saat I Gusti Agung Maruti menuju Pangeran Kapal dititipkan di Badung pada Kiayi Tegeh Kori, dan setelah dewasa diberikan tempat di Desa Lumintang ( Badung ). 

Di Lumintang I Gusti Agung Gde Jimbaran berputra dua orang, I Gusti Gde Petandekan dan I Gusti Gde Karang. I Gusti Gde Petandekan berputra I Gusti Gde Ngurah Kandel dan I Gusti Gde Karang berputa I Gusti Luh Jembung ( putung ) . Pada waktu masih menetap di Lumintang I Gusti Gde Ngurah Kandel berselisih dengan pamannya I Gusti Gde Karang, yang menyebabkan I Gusti Gde Ngurah Kandel meninggalkan Desa Lumintang, dengan berbekal dua pusaka keris Ki Tinjak Lesung dan  keris Ki Bugbug , I Gusti Gde Ngurah Kandel menghamba di Puri Mengwi. Demikianlah kisah penghambaan I Gusti Gde Ngurah Kandel, dan pada penyerangan Mengwi ke Penebel ikut memperkuat barisan lascar Mengwi.

Tidak dikisahkan ramainya peperangan Tabanan melawan Penebel, dari mulai awal sampai selesai perang menelan waktu tidak kurang dari tiga tahun. Dengan tewasnya I Gusti Ngurah Ubung ( Penguasa Penebel ) , maka tunduklah rakyat Penebel kepada Raja Tabanan ( 1820 ) . Sesuai dengan perjanjian Desa Marga diserahkan menjadi kekuasaan Mengwi, selain itu 40 buah tombak, sepucuk bedil yang bernama Ki Batan Tunjung, 2 buah tabuh ( kulkul ) bernama Ki Janghal dan Ki Macan dibawa ke Mengwi. Menurut Babad Tabanan I Gusti Agung Putu juga mendapat seorang Putri cantik yang bernama I Gusti Luh Made Layar putri Ki Gusti Asem dari Jero Aseman.

Selesai perang I Gusti Gde Ngurah Kandel memohon kepada Penguasa Tabanan agar diijinkan menetap di Penebel, dan oleh Raja Tabanan ( I Gusti Ngurah Agung ) diberikan tempat disebelah Selatan bekas kediaman Penguasa Penebel yang lalu dan juga di berikan hadiah sebilah keris yang diberi nama Ki Nebelan. Disana I Gusti Gde Ngurah Kandel membuat rumah yang disebut Jero Kepakisan dan menetap sampai sekarang.


Daftar Pustaka :
1. Buku Babad Shri Nararya Kresna Kepakisan, oleh Pengurus Pusat Pasemetonan Pratisentana Shri Nararya Kresna Kepakisan 2002.
2. Babad Pratisentana Dalem Petak Jimbaran.