Rabu, 17 April 2019

Sira Ida Brahmana Wayan Petung Gading

Untuk memahami secara jelas siapa sebenarnya Ida Brahmana Wayan Petung Gading,  perlu kiranya digunakan metoda yang mempertimbangkan sumber, sifat dan karakter Babad pada umumnya.
Dalam hal ini tentunya terikat pada sumber informasi/babad/prasasti yang ada dan menjadi bagian dari kehidupan prati sentananya. Yakni Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu, yang berada di Grya Satrya, Denpasar dan Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu milik Bp. Gde Arka di Belayu. Juga tidak kalah pentingnya adalah mengambil informasi pembanding dari Babad-babad lain seperti;
Purana Pura Pucak Kembar, Pacung, Baturiti (milik Bp. Kt. Sudharsana, Br. Basang Tamiang, Kapal) kemudian juga Purana Pura Pucak Batu Kuwub (milik Bp. I Gst. Kt. Putra, Br. Umadiwang, Belayu), Prasasti Pura Sada Kapal (milik Bp. I Kt. Sudharsana, Br. Basang Tamiang, Kapal) , Babad Dalem Ireng (milik Bp. I Kt. Sudharsana, Br. Basang Tamiang, Kapal) yang telah terkumpul. Selain beberapa prasasti/purana/babad yang tertuang di atas, sebetulnya masih banyak lagi sumber prasasti/purana/babad yang mengisahkan kebesaran ceritera tentang Dalem Kembar. Namun oleh karena keaslian sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka bahan-bahan tersebut hanya digunakan sebagai pelengkap. Diantaranya; salinan prasasti Dalem Kembar, Dalem Putih Dalem Ireng versi Bp. Drs. I Kt. Rania, Jembrana.
            Berdasarkan uraian Pasametonan di atas sebagaimana terulas dalam Pabancangah Puri Keramas, telah jelas tersiratkan bahwa “Penerima” dari kedatangan rombongan Pengungsian keluarga I Gusti Agung Pt Agung ke Jimbaran adalah Ida Brahmana Wayan Petung Gading. Ida Brahmana Wayan Petung Gading sebagai penguasa Jimbaran.
Berdasarkan Prasasti yang ada di Grya Satrya (salinan Gde Nym. Pen, Br. Umadiwang Belayu) dan sesuai dengan Prasasti yang ada di Blayu, kemudian diperbandingkan dengan yang ada pada Babad/prasasti/purana lain, dapat diketahui bahwa Ida Brahmana Wayan Petung Gading adalah putra dari Dalem Petak Jingga. Sedangkan Dalem Petak Jingga adalah keturunan dari Dalem Putih Jimbaran.
            Ida Brahmana Wayan Petung Gading dalam pemuatan tulisan prasasti tersebut di atas, di tuliskan sebagai generasi terbawah. Sehingga dapat diperkirakan bahwa penulisan Prasasti Penguger yang ada di Grya Satrya adalah pada fase Ida Brahmana Wayan Petung Gading. Ida Brahmana Wayan Petung Gading disebutkan pula sebagai putra angkat yang berasal dari kalangan Brahmana dari Jawa. Putrinya bernama I Dewa Ayu Mas Jimbaran dinikahkan dengan I Gusti Agung Putu Agung (I Gusti Agung Maruti II). 
Dengan pertimbangan pemikiran sederhana,  diperkirakan usia Ida Brahmana Wayan Petung Gading pada level orang tua I Gusti Agung Putu Agung, yakni I Gusti Agung Maruti yang telah meninggal sebagai ksatria di Cedokan Oga. (lihat diagram silsilah)
Yang mesti mendapat catatan dalam kisah pengorbanan Ida Brahmana Wayan Petung Gading terhadap I Gusti Agung Putu Agung/I Gst. Agung Maruti II adalah pada 3 (tiga) aspek pokok, yakni;
-         Aspek Pura.
o       Konsekwensi dari pasametonan yang mengharuskan di rombaknya pura hulun penyiwian Kawitan sebelum kedatangan  I Gusti Agung Putu Agung dengan setelah direnovasinya menjadi 2 rong. Rong sebelah Selatan untuk sepenerus keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading, sedangkan Rong Utara untuk sapenerus keturunan Kerajaan Mengwi.
o       Penyerahan pengurusan beberapa pura lain seperti Pura Dalem Balangan dan Pura Dalem Konco, Pura Dalem Setra, Pura Ulun Siwi, Pura Padukuhan termasuk Pengelolaan Pamerajan. Demikian pula hak yang mengimbangi kewajibannya, dalam bentuk pelaba yang ada. Semuanya terbagi, sebagai wujud kebersamaan/keluarga.
o       Pura Prasidha di Kuta tempat moksahnya Ida Dalem Petak berada di wilayah kekuasaan Jro Ksatrya Dalem, Kuta.
o       Pura Parerepan Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran, penyungsungnya hingga kini hanya keturunan paperasan Ida, keterlibatan kelompok keluarga yang lain belum terbuka.

-         Aspek Puri.
o       Terkurung oleh bagian keluarga pendatang, bahkan dalam jumlah yang lebih dominan. Akhirnya berdampak kepada situasi ketidaksetaraan komunikasi.
o       Terbatasnya kesempatan untuk pengembangan perluasan pembangunan sebagaimana pembagian lahan, membuka peluang keturunan lain tidak berminat lagi untuk tinggal di dalam Puri.
o       Kondisi kemampuan menurunkan keturunan yang terbatas, menjadikan tatanan silsilah dalam Puri menjadi rancu.
o       Begitu besar pengorbanan yang di serahkan oleh Ida Bhrahmana Wayan Petung Gading kepada I Gusti Agung Putu Agung dan rombongannya. Tindakan ini membuktikan secara tegas, bahwa kadar kejiwaan Ida Brahmana Wayan Petung Gading yang di sebutkan sebagai seorang Brahmana. Ia yang bersikap bijak, welas asih dan teguh menjalankan Dharma. Brahmana yang sesungguhnya!
Sebagaimana terungkap dalam penjelasan pada kisah kepergian I Gusti Agung Putu Agung dari Jimbaran ke Kapal dan akhirnya kembali lagi ke Jimbaran, tidak pernah termuatkan tentang certitera istri dan anaknya I Gusti Gd Jimbaran di daerah Lumintang, di wilayah pemberian dari penguasa Badung (Arya Tegeh Kori). Namun dalam kenyataannya kini kita temukan Pura Penyungsungan Dewa Ayu Mas Jimbaran, yang diempon oleh putra paperasan Ida. Juga keturunan dari I Gusti Gd Jimbaran ternyata ada di tempat lain yaitu di Penebel, Tabanan. Ini mengindikasikan bahwa putri dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading, yakni I Dewa Ayu Mas Jimbaran, kembali lagi ke Jimbaran (mulih Daha). Status hak mulih Daha adalah sah sebagai bahagian dari keluarga keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading. 
o       Mempertimbangkan akan kewajiban seorang wanita di Bali yang cenderung paham secara detil pelaksanaan yadnya yang dilakukan di dalam keluarga asalnya, maka dapat diperkirakan keputusan Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran kembali ke Jimbaran yaitu juga bermaksud untuk mendukung tetap ajegnya tatanan sebagaimana tata atur yang sejak ditetapkan oleh Ida Dalem Putih Jimbaran.
o        Untuk mendukung keinginannya itu Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran mengangkat putra paperasan dari trah asli pendukung kerajaan Jimbaran sebelum kedatangan I Gusti Agung Putu Agung yakni trah; Pasek Kemoning, Gel-gel, Pempatan  dan Arya Pinatih dalam mengemban tugas-tugas yang dititahkan Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran, untuk merawat tatanan yadnya di wilayah Jimbaran sebagaimana yang digariskan oleh Ida Dalem Putih Jimbaran.
Aspek Purana.
o       Dengan adanya keputusan untuk menerima rombongan pelarian I Gusti Agung Putu Agung ke wawengkon Jimbaran,  muncullah Bhisama Raja Bali I Dewa Agung Jambe. Tindak lanjut dari Bhisama seorang Raja Bali kala itu, tentulah harus diikuti oleh siapapun juga. Akhirnya sebagai langkah lanjutan dari adanya Bhisama tersebut, dibuatlah prasasti/Babad Dalem Kembar Wijiling Watu sebagai lelintihan baru untuk sepenerus keturunannya. Dengan gaya bahasa sastra yang menakjubkan, dan dengan pendekatan-pendekatan yang tidak menyimpang dari pakem yang telah ada, selanjutnya dipergunakan oleh pratisentananya sebagai identitas keluarga. Prasasti ini pula sebagai bahan dasar penjelasan dalam pemahaman pengetahuan tentang asal-usul mereka. Kewajiban perubahan Aspek Purana ini pula seolah menjadi titik tolak trah baru yang berhulu di Jimbaran. Penulisannya pun tentu telah mempertimbangkan masalah keamanan dari penerus keturunannya. Artinya, atas kejadian kedatangan rombongan I Gusti Agung Putu Agung tersebut, menjadikan Ida Brahmana Wayan Petung Gading mengubah, menyembunyikan, dan hal-hal lain yang dipandang perlu sebagai ceritera purana/prasasti yang wajib di miliki oleh setiap keturunan. Dalam penulisan prasasti tersebut hal-hal yang berintikan kewajiban mutlak sebagaimana yang telah beliau warisi tetap tergariskan dalam prasasti. Oleh sebab itulah Prasasti Grya Satrya tetap menegaskan dengan menyatakan pantangan kepada seluruh keturunan Ida Dalem Putih Jimbaran untuk;
§         Memakan daging /menyakiti hewan kidang
§         Memakan embung/menistakan bambu petung gading.
o       Penekanan dalam alur cerita Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu di Grya Satrya dan Belayu maupun babad-babad lainnya dengan tegas menyatakan bahwa Ida Brahmana Wayan Petung Gading adalah penerus keturunan dari Ida Dalem Putih Jimbaran. Sedangkan penjelasan  yang didapat tentang siapa yang dimaksud dan dimana pula keturunan Ida Dalem Ireng, hanya dimuat sekilas. Namun dengan penegasan sedemikian rupa, memudahkan kita untuk memahami kesujatian Ida Dalem Putih Jimbaran, tidak dengan cara memilih salah satu diantara ke duanya.
o       Adanya tulisan tentang Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu dengan penekanan “Grya Satrya”, adalah prasasti sah milik trah Ida Dalem Putih Jimbaran yang sedari awalnya tersimpan di gedong pamerajan sebelah selatan di Puri Pesalakan, Jimbaran. Namun oleh karena situasi komunikasi antara keluarga yang ada di Puri Pesalakan dengan keluarga penyungsung Pura Dewa Ayu Mas Jimbaran di Jimbaran mengalami hambatan, maka terjadilah suatu kejadian yang mengakibatkan dipindahkannya isi prasasti yang terbuat dari bahan “slaka” terdiri dari 9 lembar tersebut ke Grya Satrya kembali. Semenjak kejadian tersebut hingga kini isi prasasti tersebut tetap ada dan terawat secara baik oleh pengemponnya putra paperasan Ida I Dewa Ayu Mas Jimbarn yaitu; trah Pasek Kemoning, Pempatan, Gelgel dan Arya Pinatih. Terhadap Prasasti ini telah pula dilakukan pembacaan, dan penyalinan. Beberapa kali diantaranya diprakarsai oleh keluarga dari Belayu. Sedangkan kotak asli pesimpen prasasti tersebut masih berada di Merajan Rumah Pesalakan yang sebelah Selatan. 
 
Sumber :  http://pratisentanadalempetakjimbaran.blogspot.com

Pasametonan Ida Brahmana Wayan Petung Gading dengan I Gst Agung Putu Agung

Diceritakan hingga pada tahun 1677 M (Caka 1599), I Gusti Agung Maruti keturunan Arya Kepakisan telah ± 24 tahun menduduki tahta kerajaan Gel-gel. Putra bungsu Raja Dalem Di Made sebagai penerus sah tahta kerajaan Bali bernama I Dewa Agung Jambe berada dalam wilayah penyingkiran di Desa Guliang. Setelah sekian lama menunggu waktu di wilayah penyingkiran, dengan dibantu oleh laskar Anglurah Sideman dari sisi Timur, juga oleh laskar I Gusti Panji Sakti dari sisi utara (Buleleng) serta dari arah Barat didukung oleh Kyai Jambe Pule (Badung), bahu-membahu menyerang Gel-gel untuk merebut kembali tampuk kekuasaan kepada garis keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan. Dalam pertempuran yang demikian hebat oleh prajurit-prajurit handal pada ke dua belah pihak, akhirnya gugurlah I Gusti Agung Maruti sebagai ksatria di Cedokan Oga.
Dalam situasi seperti itu secara otomatis seluruh perangkat struktur kerajaan I Gusti Agung Maruti yang masih hidup secara serentak menyelamatkan diri. Putra-putri beliau, yakni I Gusti Agung Putu Agung, I Gusti Agung Anom dan I Gusti Ayu Made Ratih bersama saudara tirinya; Bendesa Prawangsa, Bendesa Kedeh dan Bendesa Miber, demikian pula saudara sepupunya bernama I Gusti Agung Putu Kaler Pacekan dan panjak-panjak/rakyatnya yang setia dengan total jumlah berkisar 1200-1600 orang, menuju arah barat hingga tiba di wilayah Jimbaran.

Sesampai di Jimbaran rombongan pengungsian keluarga I Gusti Agung Putu Agung yang sering di sebut dengan I Gusti Agung Maruti II (karo) diterima oleh Ida Brahmana Wayan Petung Gading, penguasa Jimbaran keturunan Dalem Putih Jimbaran. Ida Brahmana Wayan Petung Gading purinya di sebelah Timur jalan, sisi Tenggara (kelod kangin) Pura Ulun Siwi. 

Dengan diterimanya rombongan pengungsian keluarga I Gusti Agung Pt Agung bersama 1200-1600 orang pengikutnya di Jimbaran, sudah barang tentu segala pertanggungjawaban keamanan dan kelangsungan hidupnya menjadi tanggung jawab dari penguasa wilayah Jimbaran. Mulai saat itu dapatlah dimulai kehidupan rombongan pengungsian kembali kepada kehidupan baru, dengan mulainya dibuat sarana pawongan berupa tempat-tempat tinggal beserta kelengkapan parhyangannya sebagaimana yang ditunjukkan Ida Brahmana Wayan Petung Gading. Selama tinggal di Jimbaran, I Gusti Agung Putu Agung/I Gusti Agung Maruti II senantiasa mohon keselamatan di Pura Ulun Siwi.
Berkisar setahun masa pengungsian, tersebarlah isu di Jimbaran, bahwa laskar Gel-gel akan menyerang Jimbaran. Di pihak lain, di wilayah Gel-gel tersebar isu bahwa pasukan putra-putra I Gusti Agung Maruti  akan kembali menyerang Gel-gel menuntut balas kematian orang tuanya. Pada masa itu rakyat Bali semua dalam keadaan resah terlebih warga Jimbaran, utamanya warga rombongan pengungsian yang telah menikmati ketenangan beberapa saat.

Didengar oleh Ida Brahmana Wayan Petung Gading bahwa rakyat Jimbaran resah, maka sebagai penanggungjawab wawengkon Jimbaran dan juga sebagai penerima kedatangan putra I Gusti Agung Maruti beserta rombongannya, berangkatlah Ida Brahmana Wayan Petung Gading menuju Gel-gel untuk menghadap Raja Bali, I Dewa Agung Jambe yang merupakan putra dari Dalem Di Made. Sepanjang perjalanan Ida Brahmana Wayan Petung Gading dari Jimbaran ke Gel-gel selalu disaksikan pembicaraan masyarakat tentang isu penyerangan tersebut. Namun amatlah bertentangan isu-isu itu pada masing-masing daerah, yang pada akhirnya Ida Brahmana Wayan Petung Gading menyimpulkan bahwa perkembangan situasi mencekam tersebut oleh seluruh rakyat Bali, hanyalah isu belaka yang tidak jelas sumbernya, sehingga masyarakat Bali secara keseluruhan menjadi kalut. Bahkan ketika Ida Brahmana Wayan Petung Gading akan memasuki areal kerajaan Gel-gel-pun persiapan untuk menghadapi pasukan putra-putra I Gusti Agung Maruti ke Gel-gel telah dilaksanakan pembuatan lubang-lubang perlindungan.
Setibanya Ida Brahmana Wayan Petung Gading di Istana Gel-gel dan menghadap Raja Ida I Dewa Agung Jambe, dengan senyum yang ramah Ida Brahmana Wayan Petung Gading menyampaikan salam kepada Raja Ida I Dewa Agung Jambe. Dengan keramahan pula Raja I Dewa Agung Jambe menyambut kedatangan Ida Brahmana Wayan Petung Gading dan menanyakan keberadaan keluarganya di Jimbaran. Dijawablah oleh Ida Brahmana Wayan Petung Gading bahwa seluruh keluarga yang ada di Jimbaran ada dalam keadaan baik. 

Juga disampaikan bahwa rombongan pengungsian keluarga putra dari I Gusti Agung Maruti beserta pengikutnya berjumlah ± 1200 orang berada di Jimbaran dan telah membuat pesraman di sana. Menanggapi isu yang berkembang bahwa akan terjadi kembali pertumpahan darah antara laskar Gel-gel dengan laskar putra-putra  I Gusti Agung Maruti, Ida Brahmana Wayan Petung Gading memohon agar dibatalkan. Oleh karena jika sampai kembali terjadi peperangan, sudah tentu masyarakat Bali akan habis musnah. Disamping itu, I Gusti Agung Putu Agung, putra dari I Gusti Agung Maruti, melalui Ida Brahmana Wayan Petung Gading menyampaikan permintaan maaf kepada Ida Dalem, Ida I Dewa Agung Jambe.
Mendengar permintaan bijak seperti itu akhirnya permintaan Ida Brahmana Petung Gading dikabulkan. Peperangan yang sedianya akan dilaksanakan diputuskan untuk dibatalkan. Namun dalam pertemuan tersebut ada piteket Dalem yang disampaikan;
Untuk Trah Dalem yang ada di Jimbaran, I Gusti Agung Putu Agung dan adik-adiknya beserta I Gusti Putu Kaler Pacekan, kasametonang rawuh kawekas, tan dados lipya sinalih tunggil asurud ale ayu. Selanjutnya Dalem Gel-gel juga nyusurang kewangsannya menjadi Gusti Pesalahan. Sedangkan trah Bendesa, Pasek, Dangka dan trah lain yang termasuk pengikut I Gusti Agung Putu Agung ke Jimbaran diberikan tambahan nama Salahin.
Atas keputusan Ida I Dewa Agung Jambe itu Ida Brahmana Wayan Petung Gading kemudian mohon pamit untuk kembali ke Jimbaran dengan keberhasilan “ngandeg”/meredam peperangan. Menjadikan masyarakat kagum, lega, bersyukur dan salut atas perjuangannya. Dengan berakhirnya isu serang-menyerang tersebut, masyarakat Bali menyambut dengan suka cita untuk kembali dapat menapaki kehidupan baru. Khususnya keluarga trah Dalem yakni Ida Brahmana Wayan Petung Gading yang kasametonang dengan keluarga I Gusti Agung Pt Agung, dan mendapat gelar “Pesalahan”. Dimulailah kembali aktivitas kehidupan dua darah yang dipersaudarakan oleh adanya Bhisama Raja Bali di Puri yang disebut dengan nama Puri Pesalahan, kemudian lama kelamaan penyebutannya menjadi Pasalakan.
Semenjak kedatangan Ida Brahmana Wayan Petung Gading dari Klungkung masyarakat Jimbaran dapat menikmati kembali ketenangan menjalankan kehidupan dan terbebas dari rasa takut akan adanya serangan dari pihak pasukan kerajaan Dalem. I Gusti Agung Pt Agung pun setiap waktu memohon keselamatan di Pura Ulun Siwi dan Pura Dalem Balangan yang telah ada waktu itu. Dan atas karuniaNya melalui Pura Ulun Siwi, I Gusti Agung Pt Agung mendapatkan keselamatan untuk dapat melanjutkan kehidupannya. Oleh karena telah cukup umur untuk menikah, atas perkenan Ida Brahmana Wayan Petung Gading, dinikahkanlah putri Ida Brahmana Wayan Petung Gading yang bernama Ida Ayu Mas Jimbaran dengan I Gusti Agung Pt Agung.

Tidak berselang lama timbul permasalahan antara I Gusti Agung Pt Agung dengan I Gst Pt Kaler Pacekan. Atas kejadian itu I Gusti Agung Pt Agung memutuskan untuk pergi meninggalkan Jimbaran menuju penguasa Badung Pangeran Tegeh Kori. Oleh Pangeran Tegeh Kori diberikan tempat di daerah Lumintang. Dari perkawinannya dengan putri Ida Brahmana Wayan Petung Gading yang bernama Ida Dewa Ayu Mas Jimbaran, lahir seorang putera diberi nama I Gst. Gde Jimbaran. Tak lama tinggal di wilayah Lumintang, Badung, I Gusti Agung Pt Agung meninggalkan anak dan istrinya menuju daerah Kapal untuk membantu Pangeran Kapal. Pangeran Kapal adalah keturunan Pangeran Asak, saudara kandung Pangeran Nyuh Aya yang juga leluhur I Gusti Agung Pt Agung. Beliau memiliki masalah dengan Pangeran Buringkit. Atas bantuan ketangguhan I Gusti Agung Pt Agung maka Pangeran Kapal akhirnya dapat memenangkan peperangan dengan Pangeran Buringkit.

Namun disisi lain, kekalahan pasukan Pangeran Buringkit, tidak menyurutkan upayanya meraih kemenangan. Dengan jalan mohon bantuan kepada I Gst Putu Kaler Pacekan yang saat itu masih tinggal di Jimbaran hal mana memiliki permasalahan dengan I Gusti Agung Pt Agung, dengan mengandalkan keris pusaka Ki Sekar Gadung, akhirnya peperangan dapat dimenangkan kembali oleh Pangeran Buringkit. 
Atas kekalahan ini I Gusti Agung Pt Agung pergi meninggalkan Kapal kembali ke Jimbaran. Selama beberapa waktu bersemedi di Pura Dalem Balangan Jimbaran, akhirnya mendapatkan petunjuk untuk bersemedi di Pura Goa Gong. Dengan melakukan semedi di tempat tersebut I Gusti Agung Pt Agung mendapatkan sebuah Keris bernama Ki Bintang Kumukus. Dari sini pula didapatkan petunjuk untuk menuju suatu tempat di daerah timur yang terlihat seperti embun yang bersinar keemasan. Setelah ditelusuri ternyata embun bersinar keemasan itu bersumber pada sebuah bebaturan pelinggih yang berada di alas Gianyar. Di tempat itulah kemudian dibangun sebuah Pura yang kemudian diberinama Pura Mas Ceti. Sebagai tempat beristirahat kemudian beliau mendirikan sebuah rumah sederhana (kuwu). Sejak saat tersebut daerah sekitarnya kemudian diberinama Kuwumas, selanjutnya disebut Kuramas. 
Dengan tersiarnya kabar I Gusti Agung Pt Agung mendapat panugrahan ini, kemudian I Gusti Agung Pt Agung kembali menyusun rencana penyerangan untuk membalas kekalahannya terhadap I Gst Putu Kaler Pacekan. Dengan pertimbangan yang matang akhirnya diputuskanlah untuk kembali menyerang I Gst Putu Kaler Pacekan ke Buringkit berbekalkan Keris Ki Bintang Kukus. Dalam penyerangan tersebut akhirnya I Gst Putu Kaler Pacekan dapat dikalahkan dan gugur sebagai ksatria di Gunung Pegat. Putra-putranya dan pengikutnya menyelamatkan diri ke berbagai tempat. Atas kemenangan ini I Gusti Agung Pt Agung menjadi penguasa wilayah Kapal dan Buringkit dan menandai bangkitnya kembali trah Arya Kepakisan dalam kancah perpolitikan di Bali kala itu. Sadar akan kebangkitan itu tidak lepas dari bantuan secara sekala oleh Ida Brahmana Wayan Petung Gading, secara niskala adalah berkat dari  permohonannya di Pura Ulun Siwi dan Pura Dalem Balangan, Pura Goa Gong dan Pura Mas Ceti. Maka untuk selanjutnya kekuasaan di Kapal diserahkan kepada adiknya I Gst Agung Made Agung dan mengajak tinggal adiknya yang lain I Gst Ayu Ratih. I Gst. Agung Maruti II dari Kapal kembali menuju Jimbaran. Sekembalinya dari kemenangan di Kapal, muncullah niat I Gusti Agung Putu Agung untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada sekala dan niskala yang telah menganugerahi kesempatan hidup dan kemenangan yang membahagiakan. Sebagai implementasi dari bhisama kasemetonang dengan Ida Brahmana Wayan Petung Gading, dipugarlah Pura Ulun Siwi tempat beliau dahulunya selalu mohon keselamatan. Bersama dengan Ida Bhrahmana Wayan Petung Gading, Gedong Meru Tumpang Solas yang telah ada sebelumnya dibuat menjadi 2 rong. Satu rong sisi Utara sebagai stana leluhur dari I Gusti Agung Pt Agung, sedangkan rong sisi selatan sebagai stana leluhur dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading. (I Gusti Agung Pt Agung, leluhurnya adalah Raja Kediri). Uniknya dibuat menghadap ke Timur sehingga jika bersembahyang mesti menghadap ke Barat. 
Setelah kegiatan itu I Gusti Agung Pt Agung memutuskan menempatkan Bendesa Miber yang lebih dikenal dengan sebutan Bendesa Salain untuk tetap tinggal di Jimbaran. Sedangkan Bendesa Kedeh dan Bendesa Prawangsa diajak bersama menuju Keramas. Dengan demikian yang masih tinggal di Puri Pesalakan Jimbaran selain Keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading juga keturunan I Gst Miber yakni Bendesa Miber/Bendesa Salain. Bendesa Salain diserahi tugas untuk merawat merajan yang telah dibangun di Puri Jimbaran dan pura Ulun Siwi. Juga tidak diperkenankan melupakan Pura Dalem Balangan.

Sumber : http://pratisentanadalempetakjimbaran.blogspot.com

Babad Arya Tabanan


Babad ini menceritakan awal ekspedisi Majapahit ke Bali yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Arya Damar (Adityawarman). Dalam babad ini disebutkan ada kisah dizaman dahulu, sekitar tahun saka 1250-1256 ada keturunan raja yang tinggal di Kerajaan Kahuripan menurunkan enam anak laki-laki. Putra sulung bernama Rahaden Cakradara ( suami Raja Putri Majapahit III yang bergelar Jaya Wisnu Wardani atau Ratu Bra Kahuripan ), adik-adiknya secara berturutan bernama Sirarya Dhamar, Sirarya Kenceng, Sirarya Kuta Wandira ( Kuta Waringin ), Sirarya Sentong dan yang bungsu Sirarya Belog ( Tan Wikan ).

Pada tahun 1342, pasukan perang Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada selaku Panglima Perang Tertinggi, dibantu oleh Wakil Panglima Perang yang bernama Arya Damar, serta beberapa Perwira / Ksatria menyerang Kerajaan Bedulu di Bali. Masing-masing ksatria ini memimpin pasukannya menyerang. Dikisahkan, Gajah Mada menyerang dari arah Timur, diiringi oleh patih keturunan Mpu Witadarma mendarat di Toya Anyar ( Tianyar ), Arya Damar bersama Arya Sentong dan Arya Kuta Waringin mendarat di Ularan menyerang Bali dari arah Utara, Arya Kenceng bersama Arya Belog, Arya Pengalasan dan Arya Kanuruhan menyerang dari arah Selatan, mendarat di Bangsul menuju Kuta . Pasukan Arya Damar berhasil menaklukkan Ularan yang terletak di pantai utara Bali. Pemimpin Ularan yang bernama Pasung Giri akhirnya menyerah setelah bertempur selama dua hari. Arya Damar yang kehilangan banyak prajurit melampiaskan kemarahannya dengan cara membunuh Pasung Giri. Arya Damar kembali ke Majapahit untuk melaporkan kemenangan di Ularan. Pemerintah pusat yang saat itu dipimpin Tribhuwana Tunggadewi marah atas kelancangannya, yaitu membunuh musuh yang sudah menyerah. Arya Damar pun dikirim kembali ke medan perang untuk menebus kesalahannya. Arya Damar tiba di Bali bergabung dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing. Sempat terjadi kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum datangnya perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan terakhir Bali pun dapat dihancurkan. Seluruh Pulau Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran panjang selama tujuh bulan.[2] Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog. Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang. Arya Kenceng memimpin saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Ia dianggap sebagai leluhur raja-raja Tabanan dan Badung.( Sumber : http://id.rodovid.org/wk/Orang:331778 ). 

Diceritakan setelah Bali berhasil ditaklukan, sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan pulau Bali, semua Arya dikumpulkan, diberikan ceramah tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik. tujuan utamanya ialah tetap mempersatukan pulau Bali dan dapat dipertahankan sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Setelah semua dirasa cukup, semua Arya diberikan daerah kekuasaan yang menyebar diseluruh Bali. Sirarya Kenceng diberikan kekuasaan didaerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang, Sirarya Kuta Waringin bertahan di Gegel dengan rakyat sebanyak 5.000 orang, Sirarya Sentong berkedudukan di Pacung dengan rakyat sebanyak 10.000 orang dan Sirarya Belog ( Tan Wikan ) diberikan kerdudukan di Kabakaba dengan jumlah rakyat sebanyak 5.000 orang. Sirarya Dhamar diajak kembali ke Majapahit, kelak dia diangkat menjadi Adipati Palembang.[3] Salah satu keturunan dari Raja Tabanan, kemudian mendirikan kerajaan Badung ( Denpasar ) yang terkenal dengan Perang Puputan Badung melawan kolonial Belanda. Babad ini juga menceritakan kejadian-kejadian penting dan suksesi Raja-Raja
Tabanan.


Silsilah Raja Tabanan

Adwaya Brahman Shri Tinuheng Pura ( Dia yang di hormati di Singasari & Majapahit ) beristrikan Dara Jingga ( Sira Alaki Dewa / dia yang bersuami seorang Dewa ), berputra :

    Raden Cakradara (suami Tribhuwana Tungga Dewi)
    Arya Damar / Adityawarman Raja Palembang
    Arya Kenceng
    Arya Kuta Wandira
    Arya Sentong
    Arya Belog

Kembali diceritakan lagi, tentang para ksatria enam bersaudara itu, bagaimana keadaannya ?. Yang sulung bernama Raden Cakradara, alangkah tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara dia terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta ( raja Majapahit ) yang ketiga. Setelah menikah dia bergelar Sri Kerta Wardana.

Adapun yang kedua banyak nama dia, Sirarya Damar, Arya Teja, Raden Dilah, Kyayi Nala. Demikian jumlah namanya. Jabatannya 'Dyaksa', perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberanian dia.

Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau.

Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. Yang kelima Sirarya Sentong, serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka. Kelima para arya itu menjadi pejabat penting ( bahudanda ) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta ( Majapahit )[5]

Betara Arya Kenceng berkuasa di daerah Tabanan, beristana di sebuah desa bernama Pucangan atau Buwahan di sebelah selatan Baleagung. Batas daerah kekuasaan dia : sebelah timur sungai Panahan, sebelah barat sungai Sapwan, sebelah utara Gunung Beratan atau Batukaru dan sebelah selatan daerah-daerah di utara desa Sanda, Kurambitan, Blungbang, Tangguntiti dan Bajra, sama-sama daerah kekuasaan Kabakaba, mulai tahun 1343. Adapun dia Batara Arya Kenceng menikah dengan seorang keturunan brahmana di Ketepengreges, wilayah Majapahit, sang putri tiga bersaudara. Yang tertua menikah dengan Dalem Sri Kresna Kepakisan, Yang ketiga (anom) menikah dengan Arya Sentong dan yang kedua (penengah) menikah dengan Batara Arya Kenceng.



Arya Kenceng, Raja Tabanan I

Kerajaannya di Pucangan / Buahan Tabanan.

Dari permaisurinya keturunan Brahmana dari Ketepeng Reges lahir 2 orang putra :

1. Sri Megada Prabu / Dewa Raka ( Tidak berminat dengan keduniawian, membangun pesraman di Kubon Tingguh ), Dia mengangkat 5 orang anak asuh ( Putra Upon-Upon ) :

    1. Ki Bendesa Beng
    2. Ki Guliang di Rejasa
    3. Ki Telabah di Tuakilang
    4. Ki Bendesa di Tajen
    5. Ki Tegehen di Buahan

2. Sri Megada Nata / Dewa Made / Arya Yasan

Dari istri yang lain, seorang putri Bendesa Mas di Desa Tegeh Tabanan, lahir 2 orang putra :

1. Kiyai Tegeh ( Arya Kenceng Tegeh Kori bukan Kuri ). Merupakan Putra kandung dari Arya Kenceng yang beribu dari desa Tegeh di Tabanan( bukan putra Dalem yang diberikan kepada Arya Kenceng, menurut babad versi Benculuk Tegeh Kori / http://bali.stitidharma.org/babad-arya-tegeh-kuri/ ), Dia membangun Kerajaan di Badung, diselatan kuburan Badung ( Tegal ) dengan nama Puri Tegeh Kori ( sekarang bernama Gria Jro Agung Tegal ),dialah yang mengangkat Kyai Pucangan ( Kyai Notor wandira yang notabenanya putra dari Sri Megada Natha ) menjadi putra ketiga dia dengan nama Kyai Nyoman Tegeh yang kemudian menurunkan kerajaan Badung seperti : Puri Pemecutan ,Puri Kesiman, Puri jambe , Puri Denpasar . Karena ada konflik di intern keluarga maka dia meninggalkan puri di Tegal dan pindah ke Kapal. Di Kapal sempat membuat mrajan dengan nama "Mrajan Mayun " yang sama dengan nama mrajan sewaktu di Tegal, dan odalannya sama yaitu pada saat "Pagerwesi". Dari sana para putra berpencar mencari tempat. Kini pretisentananya ( keturunannya ) berada di Puri Agung Tegal Tamu, Batubulan, Gianyar dan Jero Gelgel di Mengwitani( Badung), Jro Tegeh di Malkangin Tabanan , Jro Penarungan di Sumerta , Jro Batubelig di Kuta. Dan dalam babad perjalanan Kiyai Tegeh ( Arya Kenceng Tegeh Kori ) tidak pernah membuat istana di Benculuk atau sekarang di sebut Tonja apalagi sampai membangun mrajan Kawitan di Tonja. Di Puri Tegeh Kori dia berkuasa sampai generasi ke empat.[7]

Adapun putra -putra dari Arya Kenceng Tegeh Kori IV adalah :

    1. Kyai Anglurah Putu Agung Tegeh Kori ( setelah dari Kapal kemudian membangun puri di Tegal Tamu, Gianyar, dengan nama Puri Agung Tegal Tamu ( Tamu dari Tegal ). Dia berputra :
        1. I Gusti Putu GelGel. Magenah ring ( bertempat tinggal di ) : Jro Gelgel di Mengwitani Badung, Yeh Mengecir Jembrana dan Jro Tegeh di Malkangin Tabanan
        2. I Gusti Putu Mayun. Magenah ring Jro Batu Belig ,Batubelig dan Cemagi
        3. I Gusti Ketut Mas. Magenah ring Klusa
        4. Kyai Anglurah Made Tegeh. Magenah ring Perang Alas( Lukluk Badung), Pacung ( Abian semal ) dan Dencarik ( Buleleng )
        5. I Gusti Nyoman Mas. Magenah ring Kutri
        6. I Gusti Putu Sulang. Magenah ring Sulang
        7. I Gusti Made Tegeh. Magenah ring Mambal, Sibang, Karang Dalem
        8. I Gusti Mesataan. Magenah ring Sidemen
        9. I Gusti Putu Tegeh. Magenah ring Lambing, Klan, Tuban
        10. I Gusti Ketut Maguyangan. Magenah ring Desa Banyu Campah
        11. I Gusti Gede Tegeh. Magenah ring Plasa ( Kuta )
        12. I Gusti Abyan Timbul. Magenah ring Abian Timbul
        13. I Gusti Putu Sumerta. Magenah ring Sumerta
    2. Kyai Anglurah Made Tegeh
    3. Kyai Ayu Mimba / Kyai Ayu Tegeh ( Dia yang menikah Ke Kawya Pura /Puri Mengwi )

2. Nyai Luh Tegeh



Sri Magada Nata / Arya Yasan / Sirarya Ngurah Tabanan I, Raja Tabanan II

Dia diutus oleh Dalem ( Raja Bali ) ke Majapahit untuk menyelidiki terhentinya komunikasi dengan Dalem. Setelah sampai di Majapahit, dia sangat terkejut, menyaksikan keadaan kerajaan yang kacau balau, karena pengaruh Agama Islam mulai masuk. Dia kembali ke Pucangan ( Bali ), setelah sampai di Pucangan, dia sangat kecewa, karena adik perempuannya yang bernama Nyai Luh Tegeh Kori dikawinkan dengan Kiayi Asak dari Kapal oleh Dalem, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dia. Karena sangat kecewa dia meletakan jabatan dan sebagai raja diserahkan pada putranya Sirarya Ngurah Langwang. Selanjutnya dia menjalani kehidupan rohani di Kubon Tingguh dan kawin lagi dengan putri dari Ki Bendesa Pucangan, yang kemudian melahirkan putra laki-laki yang bernama Ki Gusti Ketut Pucangan atau Sirarya Notor Wandira, yang mana selanjutnya Sirarya Notor Wandira yang kemudian di peras oleh pamannya sendiri yaitu Kyai Tegeh ( Arya Kenceng Tegeh Kori yang berpuri di tegal badung dengan nama Puri tegeh kori bukan Benculuk Tegeh Kori ) dan berubah nama menjadi Kyai Nyoman Tegeh menjadi Raja Badung dan menurunkan pratisentana ( keturunan ) Arya Kenceng di Badung seperti :Puri Pemecutan,Puri kesiman <dsb ,dan yang paling terakhir adalah Puri Denpasar

Sri Megada Nata mempunyai putera :

1. Arya Ngurah Langwang

2. Ki Gusti Made Utara ( menurunkan Keluarga Besar Jero Subamya )

3. Ki Gusti Nyoman Pascima (Menurunkan Keluarga Besar Jero Pameregan)

4. Ki Gusti Ketut Wetaning Pangkung ( Menurunkan Pragusti Lod Rurung, Kesimpar & Srampingan )

5. Ki Gusti Samping Boni ( Menurunkan Pragusti Ersania, Kyayi Nengah & Kyayi Titih )

6. Ki Gusti Nyoman Batan Ancak ( Menurunkan Pragusti Ancak & Angligan )

7. Ki Gusti Ketut Lebah

8. Ki Gusti Ketut Bendesa / Sirarya Ketut Pucangan/ Sirarya Notor Wandira ( Selanjutnya menurunkan Raja-Raja dan Pratisentana Arya Kenceng di Badung / Denpasar ).

Diceritakan Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Wuruju Pucangan setiap malam dia tidak tidur dirumah, melainkan dirumah-rumah penduduk. Pada suatu malam seorang penduduk melihat api dan setelah didekati ternyata hilang, dan yang terlihat ternyata Si Arya Ketut Pucangan. Orang mengetahui bahwa Si Arya Ketut sangat sakti. Dia disuruh memotong pohon beringin yang tumbuh diwilayah Kerajaan dan dia naik sampai kepuncak dan memotong pohon itu sampai bersih. Dia dengan enaknya duduk diatas puncak, lalu diperintahkan untuk turun oleh Raja. Setelah peristiwa itu lalu diberi nama Sang Arya Ketut Notor Wandira, dan Raja memberinya sebuah keris yang yang bernama I Ceklet. Setelah dewasa Arya Notor Wandira mengambil istri dari desa Buwahan dan berputra 2 orang yaitu :

    1. Kyahi Gde Raka
    2. Kyahi Gde Rai

Setelah Arya Notor Wandira mempunyai 2 orang putra, dia ingin mendapatkan kesucian dan wibawa, lalu pergi ke Gunung Giri di Beratan yang bernama Watukaru. Setelah berapa waktu lalu mendapat wangsit yang memerintahkan agar pergi ke Gunung Batur meminta berkah kepada Batari Danu. Sambil menunggu hari baik, dia berjalan-jalan sampai di desa Tambyak dan tiba-tiba bertemu dengan seorang anak kecil hitam kulitnya, gigi putih, muncul dari pecahan batu di Pura Tambyak, kemudian diajak pulang dan diberi nama Ki Tambyak Tudelaga. Tudelaga adalah namanya yang pertama. Setelah hari baik, Sang Arya disertai oleh Ki Tambyak pergi menuju Selagiri. Kepergiannya nyasar sampai ke Pura Panrajon. Disana dia semadi memuja Dewa, dan muncullah Sanghyang Panrajon dan berkata agar melanjutkan perjalanan ke Batur. Setelah membatalkan semadinya disertai oleh Ki Tambyak berangkatlah dia ke Selagiri dan segera melakukan yoga semadi tanpa cacat. Kemudian muncullah Bhetari Danu dan bersabda bahwa Bhetari akan memenuhi kehendaknya asal mau menjunjungnya melintasi danau dan Sang Arya tidak menoleh dan dengan hati teguh memenuhi perintahnya. Ditengah Danau Bhetari menyampaikan sesuatu dan berkata bahwa engkau akan mendapatkan kebahagiaan dalam pemerintahan, dan engkau hendaknya pergi ke negara Badung menemui Sang Anglurah Tegeh Kori. Setelah itu dia pulang ke Buwahan. Setelah berapa lama dia lalu pergi kedaerah Badung diikuti oleh istrinya dan Ki Tambyak dan bermalam dirumah Buyut Lumintang. Besoknya melanjutkan perjalanan disertai oleh Ki Buyut kedaerah Tegal dan masuk ke Istana Kyahi Anglurah Tegeh Kori dan mengadakan pembicaraan.



Arya Ngurah Langwang / Arya Nangun Graha / Sirarya Ngurah Tabanan II, Raja III

Memindahkan Kerajaan Dan Batur Kawitan Di Pucangan Ke Tabanan

Dia menggantikan Ayahnya ( Sri Megada Nata ) menjadi Raja Tabanan, yang kemudian mendapat perintah Dalem agar memindahkan Purinya ( Kerajaannya ) di Pucangan ke daerah selatan, hal ini kemungkinan disebabkan secara geografis dan demografis sulit dicapai oleh Dalem dari Gegel dalam kegiatan inspeksi. Akhirnya Arya Ngurah Langwang mendapat pewisik, …dimana ada asap mengepul, agar disanalah membangun Puri. Setelah melakukan pengamatan dari Kebon Tingguh terlihat di daerah selatan asap mengepul ke atas, kemudian dia menuju ke tempat asap mengepul tersebut, ternyata keluar dari sebuah sumur yang terletak di dalam areal Pedukuhan yaiti Dukuh Sakti, yang sekarang lokasi sumur tersebut berada di dalam Pura Puser Tasik Tabanan. Kemudian disitulah dia membangun Puri, setelah selesai dipindahlah Puri / Kerajaannya beserta Pura Batur Kawitan Betara Arya Kenceng ( lihat denah ).
Oleh karena asap terus mengepul dari sumur tersebut seperti tabunan, sehingga puri dia diberi nama Puri Agung Tabunan, yang kemudian pengucapannya berubah menjadi Puri Agung Tabanan, sedangkan kerajaannya disebut Puri Singasana dan dia disebut Sang Nateng Singasana. Dari saat itulah dia bergelar Sirarya Ngurah Tabanan atau juga Ida Betara Nangun Graha. Disebelah Timur Puri, dibangun pesanggrahan khusus untuk Dalem, apabila melakukan inspeksi ke Tabanan dan disebut Puri Dalem. Pada saat itu juga, Dalem memberikan seorang Bagawanta Brahmana Keniten dari Kamasan, yang kemudian ditempatkan di Pasekan ( Griya Pasekan sekarang ).
Denah Puri Agung Tabanan 1900

Pada waktu dia pindah dari Pucangan ke Tabanan diiringi oleh saudara-saudaranya yaitu :

    1. Ki Gusti Made Utara
    2. Ki Gusti Nyoman Pascima dan
    3. Ki Gusti Wetaning Pangkung.

Sedangkan saudaranya tiga orang lagi yaitu :

    1. Ki Gusti Nengah Samping Boni
    2. Ki Gusti Nyoman Batan Ancak dan
    3. Ki Gusti Ketut Lebah

disuruh pindah ke Desa Nambangan Badung, sebagai pendamping Ki Gusti Ketut Pucangan / Sirarya Notor Wandira yang telah menetap di Bandana ( Badung ). Selanjutnya cucu dari Ki Gusti Samping Boni bernama Ki Gusti Putu Samping, besrta adik-adiknya yaitu : Kiayi Titih, Kiayi Ersani, Kiayi Nengah dan Kiayi Den Ayung mereka kembali ke Tabanan, karena tidak memproleh kedudukan di Badung, diperkirakan sebagai pengiring I Gusti Ayu Pemedetan ( putrid dari Sirarya Notor Wandira ).

Semenjak itu pula Arya Ngurah Langwang, saudara-saudaranya ( Ki Gusti Made Utara, Ki Gusti Nyoman Pascima dan Ki Gusti Wetaning Pangkung) dan seketurunannya berpura kawitan di Pura Batur di Puri Singasana Tabanan ( Puri Agung Tabanan ) Sedangkan bekas lahan Pura Batur di Buahan/Pucangan, selanjutnya diserahkan penggunaannya kepada putra upon-upon Ki Tegehan di Buahan.

Arya Ngurah Langwang berputra :

    1. Ki Gusti Ngurah Tabanan / Sang Nateng Singasana
    2. Ki Gusti Lod Carik (menurunkan Para Gusti Lod Carik)
    3. Ki Gusti Dangin Pasar ( Menurunkan Pragusti Suna, Munang, Batur )
    4. Ki Gusti Dangin Margi ( Menurunkan Ki Gusti Blambangan, Ki Gusti Jong, Ki Gusti Mangrawos di Kesiut Kawan, Gusti Mangpagla di Timpag. Semuanya itu disebut Gusti Dangin ).




Sang Natheng Singasana / Ki Gusti Ngurah Tabanan / Prabu Winalwan / Sirarya Ngurah Tabanan III / Ida Bhatara Makules, Raja IV & VII.

Arya Ngurah Tabanan diminta bantuan oleh Sang Nata Sukasada ( Gegel ) untuk menyerang negara Sasak yang diperintah oleh Kebo Mundur atau Parsua. Dengan keris Kalawong dan tombak Ki Baru Sakti dia berhasil menaklukan Sasak. Sejak permaisuri dia meninggal dunia, dia sangat sedih dan sakit keras, lalu pemerintahan diserahkan kepada kedua anaknya. Sang Nata yang bergelar Prabu Winalwan lalu bertapa di Gunung Batukaru bagian Selatan, disebelah Timur dari Kahyangan Wongaya, pesraman tersebut dinamai Tegal Jero. Sesuai petunjuk Betara dia lalu tinggal di Wanasari pada keluarga Pedanda Ketut Jambe, dimana saat itu adik Pedanda yang tinggal di Buruan Ida Gede Nyuling tidak setuju dia tinggal disana, sehingga dia bersumpah tidak akan nunas tirta seketurunannya pada Ida Gede Nyuling. Setelah beberapa lama akhirnya dia sembuh dari penyakitnya, kulitnya mengelupas dan ditanam di dekat rumah, lalu didirikan pedarman bernama Batur Wanasari, sejak itu Sang Prabu bergelar Betara Mekules. Pedanda Ketut Nabe ditetapkan sebagai Bagawanta. Juga setelah sembuh dia kembali ke Puri Singasana Tabanan.

Stana / Pelinggih Ida Betara Mekules berada di Pura Batur Wanasari di Wanasari Tabanan. Hari Piodalannya / Petoyannya pada Anggarkasih Dukut ( Selasa Kliwon Dukut ). Dia berputra :

1. Ki Gusti Wayan Pamedekan

2. Ki Gusti Made Pamedekan

3. Ki Gusti Bola, Raja Tabanan ke X, Menurunkan Ki Gusti Tembuku

4. Ki Gusti Made, Menurunkan Para Gusti Punahan

5. Ki Gusti Wongaya, Menurunkan Para Gusti Wongaya (Jero Wongaya Tabanan)

6. Ki Gusti Kukuh, Menurunkan Para Gusti Kukuh (Jero Kukuh Denbatas dan Jero Kukuh Delodrurung)

7. Ki Gusti Kajanan, Menurunkan Para Gusti: 1. Kajanan, 2. Ombak dan 3. Pringga

8. Ki Gusti Brengos (Sira Arya Branjingan/Sira Arya Sakti Abiantimbul), dengan memperistri Ni Gusti Ayu Batan Ancak (Puri Ancak Tabanan) Menurunkan Para Gusti Abiantimbul Intaran melinggih ring Jero Gede, Jero Semawang Intaran Sanur, Jero Gulingan Intaran Sanur, Jero Abian Timbul Intaran Sanur )

    Ki Gusti Brengos ( Sira Arya Branjingan / Sira Arya Sakti Abian Timbul memperistri Ni Gusti Ayu Batan Ancak melinggih ring Puri Ancak Tabanan Dia berputra :
    1. Gusti Ayu Putu Pikandel Aswami ring Ida Pedande Gde Ngenjung ( Gria Gede Sanur )
    2. I Gusti Gede Pemecutan Jehem ( Anglurah Sakti Abian Timbul ). Dia mempunyai putra :
        1. I Gusti Gede Pemecutan Jereng, berputra :

     - 1. I Gst Putu Sungkrang dan 2. I Gst Putu Swara melinggih ring ( Jro Agung Semawang Intaran Sanur )

        2. I Gusti Pemecutan Nyapnyap
        3. I Gusti Rai Tamblang
        4. I Gusti Meregan Ampel
        5. I Gusti Gde Kesiman Benger
        6. I Gst Gede Raka Jenger
        7. I Gst Gde Kaler Dongdang
        8. I Gst Gede Rurung Gerih
        9. Gst Gede Pande Cengeb
        10. I Gusti Ketut Branjingan
        11. I Gusti Gede Branjingan

9. Ni Gusti Luh Kukuh

10. Ni Gusti Luh Kukub

11. Ni Gusti Tanjung

12. Ni Gusti Luh Tangkas

13. Ni Gusti Luh Ketut

Ki Gusti Wayahan Pamadekan / Kyai Wayahan Pamadekan / Sirarya Ngurah Tabanan IV, Raja V (?-1647)

Anglurah Tabanan dan adiknya Aglurah Made Pemadekan, diperintahkan oleh Dalem Sukasada menyerang Pulau Jawa. Dalam peperangan tentara Bali kalah, Anglurah Tabanan ditawan dan dijadikan menantu oleh Sultan Mataram, kemudian berputra Raden Tumenggung.

Ki Gusti Wayahan Pamedekan berputra :

    1. Ki Gusti Nengah Malkangin
    2 & 3. 2 ( Dua ) Wanita tidak disebutkan namanya
    4. Raden Tumenggung ( Putra yang lahir di Mataram )

Ki Gusti Made Pamadekan / Kyai Made Pamadekan / Sirarya Ngurah Tabanan V, Raja VI (1647-1650)

Oleh kakaknya ( Ki Gusti Wayahan Pamedekan ) disuruh kembali ke Bali untuk menggantikannya sebagai raja. Anglurah Made Pamedekan lari dikejar tentara Jawa, bersembunyi disebuah gua, ada seekor burung titiran yang bersuara dapat menyelamatkannya, sehingga bisa selamat sampai kembali di Puri Singasana Tabanan. Sejak saat itu Beliu bersumpah dan juga agar keturunan dia kelak tidak memelihara, membunuh burung titiran

Berputra :

    1. Arya Ngurah Tabanan
    2. Kyayi Made Dalang
    3. Ni Gusti Luh Tabanan

Sang Nateng Singasana, Raja VII (1650-?)

( Kembali naik tahta karena Ki Gusti Made Pamedekan wafat dan putra mahkota masih belum dewasa ).

Sirarya Ngurah Tabanan VI / Bhatara Nisweng Panida / Putra Sulung Kyai Made Pamadekan, Raja VIII

Saat pemerintahaan dia, anaknya Ki Gusti Wayahan Pamedekan yang tertua, yang bernama Ki Gusti Nengah Mal Kangin ingin berkuasa, lalu mencari siasat agar Sang Nata pergi ke Dalam Sukasada. Dalam perjalanan pulang dia dicegat dan dibunuh oleh Ki Gusti Nengah Mal Kangin di Desa Penida. Sejak itu dia Arya Ngurah Tabanan bergelar Betara Nisweng Penida

Berputra :

    1. Ni Gusti Luh Kepaon
    2. Ni Gusti Ayu Rai
    3. Ki Gusti Alit Dawuh

Ki Gusti Nengah Mal Kangin Dan Ki Gusti Made Dalang Raja IX

Ki Gusti Made Dalang ( putra Ki Gusti Made Pamedekan ) berkedudukan di Puri Agung Tabanan sebagai Raja Singasana dengan wilayah kekuasaannya di Sebelah Barat Sungai Dikis.

Ki Gusti Nengah Malkangin ( putra Ki Gusti Wayahan Pamedekan ) berkedudukan di Puri Malkangin dengan wilayah kekuasaan di Sebelah Timur Sungai Dikis.

Ki Gusti Made Dalang meninggal tanpa keturunan, sehingga seluruh wilayah Tabanan dapat dipersatukan oleh Ki Gusti Nengah Malkangin menjadi kekuasaannya. Ki Gusti Nengah Malkangin setelah menjadi Raja Singasana, dia selalu ingin membinasakan putra mahkota yang bernama Ki Gusti Alit Dawuh ( putra Sirarya Ngurah Tabanan / Betara Nisweng Penida ). Dengan bantuan Ki Gusti Agung Badeng penguasa Kapal yang beristrikan Ni Gusti Luh Tabanan putra dari Ki Gusti Made Pamedekan, saudara perempuan Sirarya Ngurah Tabanan ( Betara Nisweng Pedida ). Putra Mahkota Ki Gusti Alit Dawuh menyerang Ki Gusti Nengah Malkangin dan dalam pertempuran ini Ki Gusti Nengah Malkangin beserta seluruh keluarganya dibunuh oleh Ki Gusti Agung Badeng, hanya seorang putranya yang bernama Ki Gusti Perot tidak dibunuh karena cacad / perot, selanjutnya menurunkan para Gusti Kamasan. Oleh karena Putra Mahkota Ki Gusti Alit Dawuh masih sangat muda dipandang belum mampu memegang pemerintahan, sehingga Ki Gusti Agung Badeng berkenan bermukim sementara di Puri Malkangin untuk mengasuh / mempersiapkan putra mahkota menjadi raja. Sementara diangkatlah Ki Gusti Bola sebagai Raja Singasana.

Ki Gusti Bola, Raja X

Berkedudukan di Mal Kangin. Setelah Ki Gusti Bola ( putra dari Ki Gusti Ngurah Tabanan / Prabu Winalwan ) menduduki tahta Singasana, dia tetap bersikap tidak adil dan menyimpan rasa dendam pada putra mahkota Ki Gusti Alit Dawuh, yang pada akhirnya setelah Ki Gusti Alit Dawuh sudah dianggap dewasa untuk memegang pemerintahan, atas nasihat Ki Gusti Agung Badeng disarankan untuk merebut kekuasaan Ki Gusti Bola. Dalam peperangan Ki Gusti Alit Dawuh dapat mengalahkan Ki Gusti Bola, dimana Ki Gusti Bola tewas ditombak dengan tombak pusaka yang bernama Ki Sandang Lawe.

Ki Gusti Alit Dawuh / Sri Magada Sakti, Raja XI (1700)

Dinobatkan menjadi raja bergelar Sri Megada Sakti, dan negara makmur sejahtera. Dia juga memutuskan hubungan dengan Dalem, mengingat berkaitan dengan peristiwa Betara Nisweng Penida.

Setelah Sri Megada Sakti mantap kekuasaannya, maka ingin membalaskan dendam terhadap wilayah Penida, lalu diserang dan dapat ditaklukan, sehingga semua kekuasaan daerah Penida masuk Kerajaan Tabanan, seperti : Pandak, Kekeran, Nyitdah, Kediri dan lainnya. Di Kabakaba lalu memerintah Prabu Alit, oleh karena masih muda, timbul pembangkangan dari pengikutnya. Prabu Alit melapor kepada Sri Megada Sakti, lalu dia menertibkan dan menaklukan desa-desa yang membrontak. Itulah sebabnya daerah negara Tabanan semakin meluas dari lembah Sungai Sungi hingga ke Timur Sungai Pulukan dan sepanjang pantai Selatan.

Saat pemerintahaan dia, Tabanan diserang oleh Ki Gusti Panji Sakti yang berkuasa di Den Bukit ( Kerajaan Buleleng ). Mereka menyerang ke Wongaya dan merusak Pura Kahyangan Wongaya. Adanya penyerangan tersebut, di Tabanan gempar, kentongan di Bale Agung yang bernama Ki Tan Kober dibunyikan dan rakyat Tabanan bersiap untuk menyerang musuh di Wongaya. Dengan pertolongan Dewata maka keluarlah tawon yang sangat berbisa yang jumlahnya sangat banyak, menyerang pasukan Pasukan Ki Panji Sakti, sehingga mereka lari terbirit-birit. Ki Panji Sakti sadar, bahwa dia telah mendapatkan kutukan Dewata, karena merusak Pura Wongaya, lalu mengirim utusan utusan ke Tabanan menyatakan maaf atas kesalahannya dan berjanji akan berlaku bersahabat. Dan puteri Sang Nata yang bernama Gusti Luh Abian Tubuh diperistri oleh putera Ki Panji Sakti yang bernama Ki Gusti Padang

Dia berputra :

    1. Putra Sulung ( tidak disebutkan namanya )
    2. Ki Gusti Made Dawuh / Ida Cokorda Dawuh Pala
    2. Ki Gusti Nyoman Telabah
    3. Kyayi Jegu
    4. Kyayi Kerasan
    5. Kyayi Oka

Pada waktu pemerintahan Ki Gusti Alit Dawuh ( Sri Megada Sakti ), di Bandana / Badung, keturunan dari Ki Gusti Nyoman Batan Ancak yang bernama Ki Gusti Nyoman Kelod Kawuh tidak memperoleh kedudukan di Badung, mereka kembali lagi ke Tabanan, kemudian oleh Raja Sri Megada Sakti dititahkan bermukim di Desa Pandak sebagai penguasa daerah pantai batas kerajaan.

Putra Sulung Sri Megada Sakti / Ratu Lepas Pemade / Ida Cokorda Mur Pamade / Ida Cokorda Tabanan, Raja XII

Setelah Sri Megada Sakti mangkat, sebagai raja Tabanan digantikan oleh putera sulungnya yang bergelar Ida Cokorda Tabanan. Cokorda Tabanan lama dia belum mempunyai putera, karenanya dia memutuskan dan berjanji : “ Kalau lahir seorang putera, walau dari istri Sudra, maka dialah kelak akan menggantikannya “. Selanjutnya yang pertama hamil adalah istri dia yang bernama Mekel Sekar dan akhirnya melahirkan seorang putera yang diberi nama Ki Gusti Ngurah Sekar. Selanjutnya yang kedua hamil pada istri dia yang Prami dan lahir juga seorang putera diberi nama Ki Gusti Ngurah Gede. Setelah Sang Prabu mangkat, sesuai janjinya maka yang naik tahta adalah Ki Gusti Ngurah Sekar dengan gelar Cokorda Sekar / Prabu Singasana Tabanan.

Dia berputra :

    1. Ki Gusti Ngurah Sekar
    2. Ki Gusti Ngurah Gede Banjar ( Menjadi Angrurah di Kerambitan, menurunkan Puri-Puri / Jero-Jero dan Pratisentana Arya Kenceng di Kerambitan )
    3. Ki Gusti Ngurah Made Dawuh ( Cokorda Dawuh Pala )
    4. Ki Gusti Sari ( Bermukim di Wanasari )
    5. Ki Gusti Pandak ( Bermukim di Pandak )
    6. Ki Gusti Pucangan ( Bermukim di Buwahan )
    7. Ki Gusti Rejasa ( bermukin di Rejasa )
    8. Ki Gusti Bongan ( Bermukim di Bongan Kawuh )
    9. Ki Gusti Sangian ( Bermukim di Banjar Ambengan )
    10. Ki Gusti Den ( Bermukim di Banjar Ambengan )

Ida Cokorda Sekar / Ki Gusti Ngurah Sekar, Raja XIII (1734)

Ki Gusti Ngurah Sekar menggantikan Cokorda Ngurah Tabanan sebagai Raja Tabanan bergelar Ida Cokorda Sekar.

Adik dia Ki Gusti Ngurah Gede meninggalkan istana, karena tidak puas dengan kedudukannya, lalu tinggal dirumah seorang brahmana di Banjar. Setelah dibujuk dia baru mau kembali ke Tabanan dengan syarat diberikan kekuasaan sama seperti kakaknya, Cokorda Sekar setuju, maka Ki Gusti Ngurah Gede dibikinkan Puri di Kerambitan yang sama seperti Puri Singasana Tabanan dan sebagian wilayah kerajaan dan rakyatnya diserahkan kepada Ki Gusti Ngurah Gede. Setelah dinobatkan dia bergelar Cokorda Gede Banjar, selanjutnya dia menurunkan para arya di Kerambitan. Kedudukannya adalah sebagi Raja Kedua, mereka memerintah bersama-sama dan tak mengalami halangan apapun.

Dia berputra :

    1. Ki Gusti Ngurah Gede
    2. Ki Gusti Ngurah Made Rai ( Membangun Puri Kaleran, Kembali masuk Puri Agung setelah Raja XIV Wafat )
    3. Ki Gusti Ngurah Rai (Membangun puri di Penebel, Menurunkan Ki Gusti Ngurah Ubung & Jero Kerambitan / Kekeran di Kerambitan ). Keturunan Ki Gusti Ngurah Ubung musnah di bunuh dalam perang dengan Ki Gusti Ngurah Agung.
    4. Ki Gusti Ngurah Anom. Putra sulungnya bernama Ki Gusti Mas dan mediksa bergelar Ki Gusti Wirya Nala ( Membangun Puri Mas di sebelah Utara Puri Singasana, seluruh keturunannya musnah di bunuh oleh Ki Gusti Ngurah Rai Penebel )

Ki Gusti Ngurah Gede / Cokorda Gede, Raja XIV
berputra :

    1. Ki Gusti Nengah Timpag
    2. KI Gusti Sambyahan
    3. Ki Gusti Ketut Celuk

Ki Gusti Ngurah Made Rai / Cokorda Made Rai, Raja XV (?-1793)
berputra :

    1. Ki Gusti Ngurah Agung Gede (Seda sebelum Mabiseka Ratu)
    2. Ki Gusti Ngurah Nyoman Panji (Seda Sebelum Mebiseka Ratu), berputra :
        1. Ki Gusti Ngurah Agung
        2. Ki Gusti Ngurah Demung
        3. Ki Gusti Ngurah Celuk (Membangun Puri Kediri Tabanan)
    3. Kyayi Buruan
    4. Kyayi Tegeh
    5. Kyayi Beng (Menurunkan Jero Gede Beng, Jero Beng Kawan & Jero Putu)
    6. Kyayi Perean (menurunkan Jero Gede Oka, Jero Gede Kompyang)

Kiyayi Buruan, Raja XVI

Putra dari Ki Gusti Ngurah Made Rai. Dalam pemerintahannya yang didampingi oleh Kiyayi Beng selalu memendam iri hati dan kekwatiran akan kebesaran dan pengaruh Cokorda Rai Penebel beserta putranya Ki Gusti Ngurah Ubung di Penebel, akhirnya Kiyayi Buruan Menyerang Cokorda Rai di Penebel, akan tetapi Kiyayi Buruan dan Kiyayi Beng beserta laskarnya dikalahkan oleh laskar Penebel. Kiyayi Buruan dan Kiyayi Beng bertahan diistananya di Tabanan, akhirnya pasukan Penebel dibawah pimpinan Ki Gusti Ngurah Ubung menyerang Tabanan dan Kiyayi Buruan dan Kiyayi Beng terbunuh beserta seluruh keluarganya. Sedangkan Kiyayi Beng mempunyai istri yang sedang mengandung dan kebetulan berada dirumah orang tuanya di desa Suda akhirnya melahirkan anak laki-laki yang bernama I Gusti Wayahan Beng yang selanjutnya menurunkan Jero Beng, Jero Beng Kawan dan Jero Putu di Tabanan.

Ki Gusti Ngurah Rai/ Cokorda Rai Penebel, Raja XVII (1793-1820)
Berputera Ki Gusti Ngurah Ubung.

Ki Gusti Ngurah Ubung, Raja XVIII (1820)

Dia adalah putra Ki Gusti Ngurah Rai / Cokorda Penebel. Ki Gusti Ngurah Ubung sebagai raja Singasana berkedudukan di Puri Agung Tabanan, setelah kalah dalam pertempuran di pesiatan ( Pesiapan ) dengan laskar Ki Gusti Ngurah Agung ( putra Ki Gusti Ngurah Nyoman Panji ), kemudian Ki Gusti Ngurah Ubung lari dan bertahan di Puri Penebel dan akhirnya Ki Gusti Ngurah Agung Masuk ke Puri Agung Tabanan sebagai Raja Tabanan. Setelah beberapa tahun berperang, akhirnya raja Ki Gusti Ngurah Agung dibantu oleh raja Mengwi menyerang Ki Gusti Ngurah Ubung di Penebel dan Ki Gusti Ngurah Ubung tewas dalam peperangan di Desa Sesandan.

Ki Gusti Ngurah Agung / Cokorda Tabanan, Raja XIX (1820-1844)

Dia adalah putra Ki Gusti Ngurah Panji. Berputra :

    1. Sirarya Ngurah Agung
    2. Ki Gusti Ngurah Gede Banjar ( Membangun Puri Anom, menetap di Saren Kangin )
    3. Ki Gusti Ngurah Nyoman ( Membangun Puri Anom, menetap di Saren Kawuh / Saren Tengah sekarang )
    4. Ki Gusti Ngurah Rai ( Diangkat sebagai Putra oleh Ki Gusti Ngurah Demung di Puri Kaleran )
    5. Sirarya Ngurah ( Diangkat sbg Putra oleh Ki Gusti Ngurah Demung di Puri Kaleran )
    6. Ki Gusti Ngurah Made Penarukan ( Membangun Puri Anyar Tabanan )

Sirarya Ngurah Agung Tabanan / Sirarya Ngurah Tabanan ( Betara Cokorda / Betara Ngaluhur ), Raja XX (1844-1903)
Berputra :

    1. Sirarya Ngurah Gede Marga, lahir dari permaisuri dari Marga, bertempat tinggal di Puri Denpasar (sebelah utara Jero Beng).
    2. Ki Gusti Ngurah Putu, lahir dari Ni Mekel Karang dari Antosari, bertempat tinggal di Puri Mecutan. Berputra :
        1. I Gusti Ngurah Wayan
        2. I Gusti Ngurah Made
        3. I Gusti Ngurah Ketut
        4. Sagung Nyoman
        5. Sagung Rai
        6. Sagung Ketut
    3. Sirarya Ngurah Rai Perang, yang lahir dari Ni Gusti Ayu dari Lod Rurung ( Membangun Puri Dangin )
    4. Ki Gusti Ngurah Made Batan ( Puri Dangin )
    5. Ki Gusti Ngurah Nyoman Pangkung ( Puri Dangin )
    6. Sirarya Ngurah Agung, tetap tinggal di istana, yang lahir dari permaisuri pendamping (Ni Sagung Made Sekar) ( Seda sebelum Mabiseka Ratu )
    7. Ki Gusti Ngurah Gede Mas, lahir dari Ni Mekel Kaler dari Pagending
    8. Sirarya Ngurah Alit, yang lahir dari Gusti Luh Senapahan ( Seda sebelum Mabiseka Ratu )
    9. Sagung Istri Ngurah, lahir dari permaisuri pendamping Raja (Ni Sagung Made Sekar)
    10. Ni Sagung Ayu Gede, lahir dari Ni Gusti Ayu Lod Rurung
    11. Ni Sagung Wah, lahir dari istri yang berasal dari banjar Ambengan ( terkenal memimpin Bebalikan Wangaya, perang melawan Belanda )
    12. Ni Sagung Rai atau Ni Dewa Ketu
    13. Ni Sagung Wayahan Kandel
    14. Ni Sagung Nyoman Ponjen
    15. Ni Sagung Made Kembar
    16. Ni Sagung Putu Galuh
    17. Ni Sagung Ketut Putri

Sirarya Ngurah Rai Perang / I Ratu Puri Dangin,(abhiseka: I Gusti Ngurah Agung) Raja XXI (Tahun 1903 - 1906)

Dia dari Puri Dangin Tabanan, kembali masuk ke Puri Singasana setelah semua Putra mahkota wafat, merupakan Raja Tabanan ke XXI berkuasa dari tahun 1903 s/d 1906. Ida I Gusti Ngurah Rai Perang tewas muput raga (menusuk diri sendiri) di Denpasar pada tahun 1906 karena tidak mau tunduk kepada Belanda, Putra mahkota Raja Tabanan Ki Gusti Ngurah Gede Pegeg, juga ikut mengakhiri dirinya bersama ayah dia. Sehingga hanya tersisa 2 dua orang Putri Raja dari permaisuri yakni Sagung Ayu Oka dan Sagung Ayu Putu, yang kemudian keduanya pindah dan menetap di Puri Anom Tabanan, karena Puri Agung Singasana Tabanan dibakar habis oleh Belanda. Sagung Ayu Oka kemudian menikah dengan Cramer seorang Klerk Kontrolir Belanda, dan Sagung Ayu Putu menikah dengan Ki Gusti Ngurah Anom, di Puri Anom Tabanan.

Putra Putri Dia dari permaisuri yang ikut masuk ke Puri Agung :

        1. Ki Gusti Ngurah Gede Pegeg (Turut Muput Raga di Badung th 1906) tidak berketurunan
        2. Sagung Ayu Putu (Pindah ke Puri Anom ) menikah dengan Ki Gusti Ngurah Anom di Puri Anom Tabanan. Menurunkan keturunan di Puri Anom Saren Taman atau sekarang disebut Puri Anom Saren kauh. Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom mempunyai 3 orang keturunan,
            1. Sagung Gede (alm,tidak menikah)
            2. Sagung Wah (alm,tidak menikah)
            3. I Gst Ngr Gede Subagja (alm,menikah dengan Sagung Putra) melahirkan
                1. I Gusti Ngurah Agung (Alm, menikah dgn R R D G Kartika Rini) melahirkan
                    1.A A Sg Ratna Kartika
                    2.A A Ngr Panji Astika
                    3. A A Sg Lely Lestari
                    4. A A Ngr Panji Astika
                2. I Gusti Ngurah Bagus Danendra
                3. A A Sagung Mirah Widyawati(menikah dengan I Gst Ngr Bagus Grya Negara)
        3. Sagung Ayu Oka (Menikah dengan Mr.Arthur Mauritz Cramer, Klerk kontrolir Belanda)dan memiliki 4 orang anak:
            1. Elizabeth(alm-Balanda) memiliki 2 orang anak.
            2. Johan Wilhem Cramer(alm-Sukabumi) memiliki 8 orang anak. Meninggal 1981 di Sukabumi.
            3. Jan August Cramer(alm-Belanda) memiliki 6 orang anak. (nama Trijntje Aleid Maria, Ary Maurits Arthur, Johan Balthasar Arthur, Arthur Maurits Jan, Jan August dan Trudy Trijntje Maria). Semua tinggal di tanah belanda, weesp (amj.cramer@chello.nl)
            4. Baldi Cramer(alm-Sulawesi Selatan).

Keempat anak Sagung Ayu Oka lahir di Jembrana-Bali. Kemudian beserta keluarganya Sagung Ayu Oka pindah ke Sulawesi Selatan. Sagung Ayu Oka meninggal dan dimakamkan di Bantaeng, Sulawesi Selatan dan sampai kini makam dia dirawat dengan baik oleh pihak gereja.

Raja I Gusti Ngurah Agung (Raja Tabanan XXI) juga mempunyai putera dari istri yang lainnya dan tetap tinggal di Puri Dangin Tabanan[9], sebagai berikut :

    1. I Gusti Ngurah Anom ( Sekarang keturunannya tinggal di Puri Dangin Tabanan), berputra :
        1. I Gusti Ngurah Ketut
        2. I Gusti Ngurah Alit
        3. I Gusti Ngurah Made
        4. Sagung Oka (Kawin ke Puri Anom)
        5. Sagung Nyoman (Kawin ke Jro Oka di Jegu)
        6. I Gusti Ngurah Gde Wisadnya
        7. I Gusti Ngurah Agung
    2. I Gusti Ngurah Putu Konol ( Sekarang keturunannya tinggal di Puri Dangin Tabanan di Jegu), berputra :
        1. I Gusti Ngurah Oka
        2. I Gusti Ngurah Gde Sasak
        3. Sagung Putri
        4. Sagung Putra (Kawin ke Puri Dangin Tabanan)
        5. Sagung Oka (Kawin ke Puri Pemecutan /Gede /Agung Tabanan)
    3. Ni Sagung Made.

Keturunan dia sekarang tinggal di Puri Dangin Tabanan , yang dibangun lagi, setelah datang dari Lombok, yang mana lokasi purinya tidak dibekas area Puri Dangin Tabanan dulu yang telah dihancurkan Belanda. Yang kemudian selanjutnya menurunkan keluarga-keluarga di Puri Dangin Tabanan dan Puri Dangin Tabanan di Jegu sekarang

Cokorda Ngurah Ketut, Raja Tabanan ke XXII (1929-1939)

Pada Tahun 1906, Terjadi Perang Puputan Badung dimana Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Denpasar dan Raja Pemecutan beserta pembesar pembesar kerajaan tewas dalam perang Puputan Badung, Menyusul kemudian Ida Ratu Singasana Tabanan I Gusti Ngurah Rai Perang (yang juga bergelar I Gusti Ngurah Agung Tabanan) yang Nuek Raga di puri Denpasar Badung disertai Putra Mahkota Tabanan I Gusti Ngurah Gede Pegeg yang tewas dengan jalan meminum sari. Puri Singasana Tabanan kemudian dijarah dan dihancurkan oleh serdadu Belanda. Putri putri Raja di Puri Singasana, Sagung Ayu Oka dan Sagung Ayu Putu, kemudian berpindah ke Puri Anom , dimana tahun 1910 Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom, bertempat di Puri Anom saren Taman (sekarang disebut Puri Anom Saren Kawuh) dan Sagung Ayu Oka menikah dengan Arthur Maurits Cramer, seorang Klerk Kontrolir berkebangsaan Belanda pada tahun 1912. Putra Putra Raja di Puri Dangin dan saudara dekat Raja di Puri Mecutan dan Puri Denpasar kemudian diasingkan ke Lombok. Puri Dangin, Puri Denpasar, Puri Mecutan dan lainnya kemudian di ratakan dengan tanah.

10 Tahun kemudian mereka semua dikembalikan ke Tabanan. Belanda kemudian membentuk suatu daerah otonomi yang dipimpin oleh seorang Self Bestur, daerah otonomi ini disesuaikan dengan pembagian kerajaan-kerajaan sebelumnya. Untuk Tabanan dan Badung Self Bestur diberi gelar Ida Cokorda, Gianyar Ida Anak Agung dan sebagainya. Dalam rangka memilih Kepala Pemerintahaan di Tabanan, Belanda juga mencari dan menerima saran-saran dari beberapa Puri / Jero yang sebelumnya ada dalam struktur kerajaan, tentang bagaimana tatacara memilih seorang raja di Tabanan sebelumnya. Setelah mempertimbangkannya, Pada tanggal 8 Juli 1929, diputuskan oleh pemerintah Belanda, sebagai Kepala / Bestuurder Pemerintahan Tabanan dipilih I Gusti Ngurah Ketut, putra I Gusti Ngurah Putu ( putra Sirarya Ngurah Agung Tabanan, Raja Tabanan ke XX ) dari Puri Mecutan.
Selanjutnya Dia membangun kembali Puri beserta Pura Batur Kawitan Betara Arya Kenceng ( Piodalan pada hari Wrespati/Kamis Umanis Dungulan ) di area bekas letak Puri Agung Tabanan yang telah dihancurkan Belanda. Karena adanya keterbatasan saat itu, luas area yang digunakan dan jumlah bangunan adat yang didirikan tidak seperti yang semula.

Pada tanggal 1 Juli 1938 Tabanan menjadi Daerah Swapraja, Kepala Daerah Swapraja tetap dijabat oleh I Gusti Ngurah Ketut ( dari Puri Mecutan Tabanan ), kemudian Dia dilantik / disumpah di Pura Besakih pada Hari Raya Galungan tanggal 29 Juli 1938 dan Mabiseka Ratu bergelar Cokorda Ngurah Ketut, dilihat dari urutan Raja Tabanan, dia adalah Raja Tabanan ke XXII 1938 s/d 1944.[11]

Berputra :

        1. I Gusti Ngurah Gede
        2. I Gusti Ngurah Alit Putra
        3. I Gusti Ngurah Raka
        4. Sagung Mas
        5. I Gusti Ngurah Agung

selanjutnya digantikan oleh putra sulungnya bernama I Gusti Ngurah Gede , bergelar Cokorda Ngurah Gede .

Cokorda Ngurah Gede, Raja Tabanan ke XXIII (Maret 1947 s/d 1986)

Selanjutnya I Gusti Ngurah Gede, putera sulung Cokorda Ngurah Ketut menjadi Cokorda Tabanan, bergelar Cokorda Ngurah Gede, Raja Tabanan XXIII Maret 1947 s/d 1986 dan dia menjabat Bupati Tabanan Pertama tahun 1950, tempat tinggal Dia disebut Puri Gede / Puri Agung Tabanan / Puri Pemecutan Tabanan.

Dia berputra :

        1. Sagung Putri Sartika
        2. I Gusti Ngurah Bagus Hartawan
        3. Sagung Putra Sardini
        4. I Gusti Ngurah Alit Darmawan
        5. Sagung Ayu Ratnamurni
        6. Sagung Jegeg Ratnaningsih
        7. I Gusti Ngurah Agung Dharmasetiawan
        8. Sagung Ratnaningrat
        9. I Gusti Ngurah Rupawan
        10. I Gusti Ngurah Putra Wartawan
        11. I Gusti Ngurah Alit Aryawan
        12. Sagung Putri Ratnawati
        13. I Gusti Ngurah Bagus Grastawan
        14. I Gusti Ngurah Mayun Mulyawan
        15. Sagung Rai Mayawati
        16. Sagung Anom Mayadwipa
        17. Sagung Oka Mayapada
        18. I Gusti Ngurah Raka Heryawan
        19. I Gusti Ngurah Bagus Rudi Hermawan
        20. I Gusti Ngurah Bagus Indrawan
        21. Sagung Jegeg Mayadianti
        22. I Gusti Ngurah Adi Suartawan.

Selanjutnya digantikan oleh I Gusti Ngurah Rupawan , Mabiseka Ratu 21 Maret 2008 bergelar Cokorda Anglurah Tabanan .

Cokorda Anglurah Tabanan Raja Tabanan ke XXIV (2008-....)
Dari tanggal 21 Maret 2008

Cokorda Anglurah Tabanan berputera :

    1. Sagung Manik Vera Yuliawati
    2. I Gusti Ngurah Agung Joni Wirawan
    3. Sagung Inten Nismayani

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Babad_Arya_Tabanan