Rabu, 28 Mei 2014

Bangunan Suci Taksu

Mengenai  kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih memiliki pengertian dan persepsi yang masih sempit, umpamanya kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih taksu.

Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki profesionality ( wiguna ).

Taksu itu sesungguhnya adalah kekuatan magis dari Sang Hyang Widhi, di mana kekuatan tersebut merupakan kekuatan gravitasi ( gaya tarik ), dan kekuatan tersebut menyatu dengan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia sehingga manusia memiliki charisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. 

Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat perlu di buat sebagai stana Dewa Profesi.



Sumber : Manifestasi Sang Hyang Widhi – I.B. Putu Sudarsana,MBA.MM

Bangunan Suci Kemulan ( Rong Tiga )

Penamaan Ista Dewatanya oada bangunan suci kemulan sesuai dengan sumber-sumber sastra yang ada, adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi setelah bermanifestasi member kekuatan pada jalan simpang Tiga (Marga Tiga) yaitu dengan Swabhawa “Sang Hyang Sapuh Jagat”. Beliau bermanifestasi ke Pemerajan yaitu pada bangunan suci kemulan dengan swabhawanya sebagai “Sang Hyang Guru Suksma”.

Sang Hyang Guru Suksma memiliki kemahakuasaan Tri Murti, yaitu dengan manifestasiNya Brahma bermanisfestasi lagi sebagai “Sang Hyang Sri Guru”, dengan swabhawanya. Sang Hyang Atma, yang memberikan kekuatan  gaib pada rong kanan (Tengen). Sang Hyang Sri Guru memiliki kemahakuasaan untuk mengikat dan mengayomi para Rokh-rokh Suci Leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat purusa (laki-laki) atau dengan kata lain Dewa Pitara bersifat purusa bersemayam pada Sang Hyang Sri Guru berstana di Rong Kanan. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kemaha kuasaan Tri Murtinya dengan manifestasi Wisnunya berupa swabhawa sebagai  Sang Hyang Sri Adhi Guru. Sang Hyang Sri Adhi Guru  memiliki kemahakuasaan sebagai Antaratma untuk mengikat dan mengayomi para Rokh-Rokh Suci Leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat predana (perempuan) dan berstana pada Ring Kiri Kemulan.

Selanjutnya Sang Hyang Guru memiliki manifestasi sebagai Siwa dengan swabhawa “Sang Hyang Sri Parama Adhi Guru”. Pada manifestasi ini Beliau sepenuhnya masih memiliki sifat-sifat keTuhanan yang murni , sebagai sumber dari kekuatan Sri Guru dan Sri Adhi Guru, sehingga terciptanya keserasian, keseimbangan dari  dua kekuatan yaitu kekuatan purusa dan kekuatan prakerti. Adanya dua kekuatan ini menimbulkan Rwa Bhineda yaitu ada baik dan buruk, adanya laki-laki dan perempuan, ada kaya dan miskin , dan semua itu terkandung dalam suka,duka,lara dan pati.


Sumber : Manifestasi Sang Hyang Widhi – Drs. I.B. Putu Sudarsana,MBA.MM

Minggu, 25 Mei 2014

Hari Raya Saraswati

Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh."

Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.

Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati.

Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.

Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi.

Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.

Filosofi dan Mitologi
Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.

Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.

Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri di atas bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi.

Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali. Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat.

Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi. Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.

Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah.

Bunga Padma atau bunga teratai adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta dala) sebagai stana Tuhan. Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam. Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.

Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.

Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan. Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah.

Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.

Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana. Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap.

Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugrah pada Kumbakarna. Kumbakarna memohon anugrah yakni agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka sada". Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada" yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.

Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati.

Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut. Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.

Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada Dewi Saraswati.

Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia.

Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya.

Dewi Saraswati menganggap, kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana pendeta sejati.

Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.

Pada Hari Raya Saraswati Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.

Semua perumpamaan itu adalah suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda. Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang Weda.


Hari Saraswati merupakan manifestasi Hyang Widhi sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, Kekuatan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya ini dilambangkan dengan seorang Dewi, Dewi membawa alat musik, Genitri,, Pustaka suci, Teratai, serta duduk di atas angsa.

1. Dewi simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu indah, cantik, menarik, dan lemah lembut dan mulia
2. Alat musik simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu seni budaya yang agung
3. Genetri simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu tak terbatas dan kekal abadi
4. Pustaka suci simbol, bahwa itu sumber ilmu pengetahuan yang suci
5. Teretai simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan kesucian Hyang Widhi
6. Anga adalah simbol kebijaksanaan, Angsa bisa membedakan antara yang baik dan buruk.

Hari Raya Siwaratri

Ciwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudan-Nya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa diyakini sedang melakukan yoga semadi. Sehubungan dengan hal tersebut, umat Hindu mengadakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pemusatan pikiran kehadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menemukan "kesadaran diri" (atutur ikang atma ri jatinya). Hari Siwaratri jatuh pada hari "Catur Dasikrsnapaksa" bulan "Magha (panglong ping 14 sasih kapitu).

Di dalam sastra hindu yaitu lontar Lubdhaka (oleh Mpu Tantular) disebutkan tentang pelaksanaan hari Ciwaratri. Pelaksanaan hari Ciwaratri diawali dengan pembersihan badan dengan cara mandi di pagi hari. Setelah melakukan persembahyangan pagi, kemudian dilanjutkan dengan melakukan puasa. Pada malam harinya dilakukan sambang samadhi yaitu tidak tidur semalam suntuk dengan cara menenangkan pikiran atau membaca kitab-kitab suci.

Pada malam Ciwaratri ini, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya dengan jalan melakukan brata Ciwaratri. Jadi sesungguhnya malam Ciwaratri adalah malam peleburan dosa, yaitu dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Orang yang paling berdosa sekalipun mendapat kesempatan melebur dosanya pada malam Ciwaratri.

 Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur). Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah: 


  1. Utama, melaksanakan: monabrata, upawasa, dan jagra
  2. Madya, melaksanakan: upawasa dan jagra
  3. Nista, melaksanakan: jagra
Lebih lanjut tentang pelaksanaan Ciwaratri adalah sebagai berikut:

  1. Untuk Sang Sadhaka disesuaikan dengan "dharmaning kawikon".
  2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan "sucilaksana" (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut :
  • "Maprayascita" sebagai pembersihan pikiran dan bathin.
  • Ngaturang banten pajati (mempersembahkan sesajen pajati) di Sanggar Surya disertai persembahyangan kehadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian-Nya.
  • Sembahyang kehadapan leluhur yang telah "sidha dewata" mohon bantuan dan tuntunannya.
  • Ngaturang banten pajati kehadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada "Sanggar Tutuan" atau "Palinggih Padma" atau dapat pula pada "Piasan" di Pemerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar dan diikuti sembahyang yang ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas (mohon) "Tirta Pakuluh". Terakhir adalah "masegeh" di depan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwaratri ditutup dengan melaksanakan "Dana Punia"
  • Sementara proses itu berlangsung, agar tetap mentaati upawasa dan jagra. Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya Pukul 18.00 (36 jam).
  • Persembahyangan kehadapan Sang Hyang Siwa dengan banten pajati, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih kapitu, pada tengah malam, dan besoknya menjelang pagi

Hari Raya Nyepi

Hari raya Nyepi oleh umat hindu di Bali dirayakan sebagai hari pergantian tahun baru Caka. Hari raya ini menurut penanggalan hindu jatuh pada tanggal satu (penanggal pisan) sasih X (kedasa) atau tepatnya sehari sesudah tilem ke IX (kesanga). Terdapat beberapa rangkaian pelakasanaan hari raya Nyepi ini, yaitu:

Melasti

Melasti sering disebut dengan Melis atau Mekiis. Upacara melasti ini dilakukan pada pengelong 13 sasih kesanga (tepatnya traodasa kresnapaksa sasih IX). Pada upacara melasti ini dilakukan pensucian atau pembersihan segala sarana atau prasarana persembahyangan. Alat-alat atau sarana persembahyangan yang dibersihkan antara lain adalah: pratima dan pralingga. Sarana-sarana ini selanjutnya diusung ke tempat pembersihan seperti laut (pantai) atau sumber mata air lain yang dianggap suci, sesuai dengan keadaan tempat pelaksanaan upacara (desa, kala, patra). Tujuan dari upacara melasti ini adalah untuk memohon tirtha amerta sebagai air pembersih dari Hyang Widhi.

 Tawur Kesanga

Tawur kesanga jatuh sehari sebelum pelaksanaan hari raya nyepi yaitu pada tilem kesanga. Pada upacara tawur ini dilakukan persembahan kepada para bhuta berupa caru. Caru ini dipesembahkan agar para bhuta tidak menurunkan sifat-sifatnya pada pelaksanaan hari raya nyepi. Hal ini juga bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur jahat dari diri manusia sehingga tidak mengikuti manusia pada tahun berikutnya. Upacara tawur kesanga ini sering juga disebut dengan upacara pecaruan dan juga tergolong upacara bhuta yadnya.



Hari Nyepi

Hari raya nyepi dirayakan oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan in dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.

 Ngembak Geni
Sehari setelah hari raya nyepi, semua aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari ini dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk kebaikan pada tahun yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling bersilatuahmi dan memaafkan satu sama lain.

Hari raya nyepi pada hakekatnya adalah hari pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan yang dilakukan pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan niat yang kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa nafsu untuk mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Hari Raya Kuningan

Hari raya Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan (210 hari sekali), tapatnya sepuluh hari Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogan Hyang Widhi turun ke dunia dengan diiringi oleh para dewa dan pitara pitari. Hyang Widhi datang dengan melimpahkan karunia-Nya kepada umat manusia. Pada hari Kuningan umat hendaknya menghaturkan bakti dan memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan lahir batin.

Pada hari Kuningan, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yang berwarna kuning. Hal ini bertujuan sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan serta kemakmuran yang dilimpahkan Hyang Widhi. Pada hari yang sama, umat juga membuat tamiang, endongan dan kolem yang dipasang di padmasana, merajan dan penjor.
Tamiang ini adalah simbol penangkis dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan (karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu, tumpeng, dan lauk-pauk) Semua ini disiapkan untuk kelangsungan upacara hari raya Kuningan. Upacara ini sebaiknya selesai sebelum tengah hari.

Perayaan Hari Kuningan agak spesial, yaitu hanya dilakukan sampai siang hari saja. Mengapa?
Pagi hari pada waktu suasana alam masih relatif tenang, merupakan saat yang sangat tepat untuk melakukan Meditasi. Karena itu kita melakukan Puja Tri Sandya pada pagi hari (saat Brahma Muhurta )

Suasana hening menghasilkan Ka – Uningan untuk memperoleh jnana yang baik, suatu pengetahuan suci spiritual.
Pengetahuan yang kita miliki bisa diperoleh dengan tiga cara yang disebut dengan Tri Pramana yaitu :
a. Agama Pramana : Mendengarkan ajaran para Guru yang diajarkan secara oral.
b. Anumana Pramana yaitu dengan menggunakan akal, daya pikir dan logika kita.
c. Pratyaksa Pramana yaitu dengan melihat langsung hal hal yang bersifat rohani.

Pada Hari Kuningan bermakna agar kita Ka-uningan untuk memperoleh pengetahuan dharma (samya jnana). Hal ini bisa diperoleh dengan menggunakan Dasendriya yaitu Panca Budhindriya dan Panca karmendriya yang juga disimbulkan dengan adanya 10 hari antara hari Galungan dan Kuningan. Pengetahuan tersebut berupa Tattwa .

Hasil akhir yang ingin dicapai adalah tercapainya Suddha Jnana yaitu pikira suci, untuk menjadi orang yang Jayabaya ( menang dalam menghadapi semua halangan/ marabahaya).
Kita selalu diharapkan untuk menggali ke dalam diri masing masing sesuai dengan makna kajeng Kliwon yang juga terletak di tengah pangider ider. Jadi hendaknya kita kembali ke dalam diri yang sejati sebagaimana tujuan hidup kita yakni Moksatham ja gadhita ya Cai thi Dharma. Hari Kuningan merupakan momentum untuk mengingatkan kita untuk selalu mencari pengetahuan yang suci untuk mengenali diri kita yang sejati.

Hari Purnama dan Tilem

Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.

Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari ini hendaknya diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.
Beberapa sloka yang berkaitan dengan hari Purnama dan Tilem dapat ditemui dalam Sundarigama yang mana disebutkan:

'Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang akawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"

  

Ada hari-hari utama penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.

Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air.

Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan kepada Hyang Widhi.


 

Kamis, 22 Mei 2014

Menyambut Rainan Galungan

Hari raya Galungan: Buda Kliwon Dungulan adalah hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan dharma melawan adharma Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas rahmatnya serta untuk keselamatan selanjutnya. Sedangkan penjor yang dipasang di muka tiap-tiap perumahan yaitu merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung.


Kami di Jero Kepakisan Penebel , pada saat Hari Raya Galungan pasti kumpul di Merajan Agung Jero Kepakisan Penebel untuk ngaturan bakti sama para leluhur serta betara kawitan yang ada di Merajan Agung. Kami didalam pelaksanaan ngaturan bakti di pimpin oleh seorang pemangku Tri Kayangan, yang pelaksanaannya sudah dimulai jam 11 siang ( setelah ilen-ilen di Tri Kayangan selesai ).


































































Jero Kepakisan Penebel


Bale Singosari atau Bale Sake Sembilan dimana jumlah sake / adegannya berjumlah sembilan


Bale Daje atau sering disebut Bale Bandung



Bale Gede dimana jumlah sake / adegannya 12 buah


Minggu, 18 Mei 2014

Hari Raya Galungan

Hari raya Galungan: Buda Kliwon Dungulan adalah hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan dharma melawan adharma Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas rahmatnya serta untuk keselamatan selanjutnya. Sedangkan penjor yang dipasang di muka tiap-tiap perumahan yaitu merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung.


Pemasangan penjor atau bambu berisi hiasan untuk merayakan Galungan.

Selamat Galungan


Karma


Merajan Agung Jero Kepakisan


Ngaturan Bakti Merias Pretima


Ngaturan Sembah Bakti dg Tulus


Selalulah Mendekatkan Diri Dengan NYA Untuk Mendapatkan Ketenangan Yang Di Harapkan.

Tumpek Landep


Ngaturan Bakti lewat Rainan Saraswati


Bale Singosari


Ngerestiti ring Leluhur


Semoga para leluhur beserta para dewata merestui Blog "Jero Kepakisan " ini, sehingga kami beserta semua keluarga besar / para semeton semuanya yang meluangkan waktunya mampir ke blog ini menjumpai ke Rahayuan.